RUU KUP Dinilai Tak akan Dorong Penerimaan Negara, Ini Sebabnya

Merdeka.com – Pemerintah tengah menyiapkan instrumen pemungutan pajak yang bisa diandalkan tahun depan atau 2022. Upaya itu ditujukan dengan melanjutkan komitmen reformasi birokrasi perpajakan, bersamaan dengan revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU ini merupakan perubahan kelima atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP.

Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menilai, draf RUU KUP yang diajukan pemerintah justru belum menggambarkan komitmen-komitmen dalam menyokong penerimaan negara. Menurutnya RUU KUP justru cenderung memuat usulan-usulan yang membuat kompleksitas buat wajib pajak dan belum tentu mendorong efektivitas penerimaan.

Dia mencontohkan, untuk tarif PPN bertingkat. Pengenaan multitarif ini dianggap akan membuat administrasi wajib pajak menjadi complicated dan berpotensi menciptakan ruang abu-abu di wilayah pengawasan oleh government officer ke depannya.

Contoh kedua, mengenai usulan tentang alternative minimum Tax (AMT), di mana perusahaan yang merugi juga akan dikenakan pajak. Dia mengatakan, jika konteksnya Pajak Penghasilan (PPh), secara substansi melakukan pembayaran pajak penghasilan ketika mempunyai penghasilan. Akan tetapi ketika rugi, dipaksa bayar pajak penghasilan, maka menunjukkan pemerintah tidak konsisten dengan definisi PPh itu sendiri.

“Kalau pendekatan berfikirnya untuk menghindari penghindaran pajak, misalnya, pemerintah seharusnya lebih fokus dengan pengawasan dan penguatan tax compliance,” kata Ajib kepada merdeka.com, Selasa (24/8).

Ajib melanjutkan, keganjalan lain dalam draf RUU KUP juga terlihat di mana pemerintah lebih fokus dengan effort untuk membedakan definisi objek dan bukan objek pajak. Selanjutnya malah menimbulkan pro kontra tentang potensi pengenaan PPN atas sembako, pendidikan, dan lainnya.

“Pemerintah harusnya lebih fokus dengan ekstensifikasi yang menekankan pada pemungutan pajak yang berkeadilan, yaitu redistribusi pendapatan masyarakat,” kata dia.

Dia menyarankan, untuk memperkuat reformasi perpajakan dan menjadikan pajak sebagai instrumen utama menopang APBN masa depan, seharusnya pemerintah lebih fokus dengan dua isu utama, agar grand design pemerintah bisa berjalan dengan optimal. Pertama adalah komitmen pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).

Menurutnya konsep pembentukan badan ini sudah diinisiasi dalam usulan-usulan sebelumnya oleh pemerintah ke DPR sejak tahun 2016. Dengan pertimbangan, bahwa perlu penguatan organisasi dan kewenangan, langsung di bawah presiden.

“Tata kelola organisasi perpajakan modern seperti inilah yang menjadi kebutuhan. Kondisi sekarang, dan dalam usulan terbaru, justru terjadi langkah mundur, dengan kembali mengusulkan otoritas pajak tetap di eselon 1, di bawah Kementerian Keuangan,” jelas dia.

Dia mengatakan sudah saatnya Indonesia mempunyai patron pengelolaan keuangan negara secara modern seperti halnya negara-negara yang tergabung dalam G20. Sudah seharusnya juga, pemerintah Indonesia mendesain otoritas pajak mempunyai fleksibilitas dan kewenangan yang optimal, dengan menjadi otoritas independen langsung di bawah presiden, seperti halnya pola negara-negara lain dalam G20.

Hal kedua yang menjadi prioritas adalah urgensi membangun database yang valid dan terintegrasi dalam bentuk Single Identification Number (SIN). Konsep ini memang pernah didorong oleh Kementerian Keuangan sejak tahun 2002, dengan menggabungkan lebih dari 10 nomor identitas wajib pajak, melalui data numerik dan data spasial.

“Dengan Pembentukan SIN, pemungutan pajak akan lebih efektif, efisien dan berkeadilan,” imbuhnya.

Sumber: merdeka.com, Rabu 25 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only