Sri Mulyani Jelaskan Alasan Penerimaan Pajak Global Tergerus Rp 3.360 Triliun

Jakarta, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan penerimaan pajak global per tahun hilang Rp 3.360 triliun akibat penggerusan basis pajak (base erosion and profit shifting/BEPS) menyusul maraknya transaksi lintas negara (cross border transactions) dan transaksi ekonomi digital (digital economy). Hilangnya basis pajak dialami semua negara sehingga menjadi kekhawatiran pemimpin G-20.

“Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat BEPS secara global diperkirakan mencapai Rp 3.360 Triliun per tahun,” ujarnya dalam Rapat Kerja RUU KUP dengan Komisi XI, Senin (13/9/2021).

Berdasarkan penelitian di tahun 2008, praktik BEPS dilakukan dengan memanfaatkan isu kerahasiaan bank (bank secrecy) dan isu perbedaan tarif pajak penghasilan (PPh) badan (race to the bottom) di banyak negara atau yurisdiksi. Kendati begitu, Menkeu menyebut BEPS bukan menjadi satu-satunya isu dalam tren perpajakan global. Saat ini dunia dihadapkan pada isu pembagian hak pemajakan yang adil atas laba usaha perusahaan berbasis digital (digital platform), dan beroperasi di multiple yuridiks seperti Indonesia. “Beragam isu tersebut mendorong pemimpin G-20 dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) untuk merumuskan dan menyepakati 15 BEPS Action Plan di tahun 2015,” tuturnya.

Lebih lanjut pada dekade terakhir, lanskap perpajakan internasional juga diwarnai dorongan kepada seluruh negara untuk meningkatkan mobilitas sumber daya domestik (domestic resource mobilization/DRM) dalam pelaksanaan dan pencapaian sustainable development goal. DRM hanya bisa meningkat apabila penerimaan pajak sebuah negara alami kenaikan.

“Oleh karena itu, perluasan basis melalui peningkatan basis orang pribadi, penerapan pajak minimum alternatif dan pengenaan pajak atas kekayaan dan properti, pemajakan atas eksternalitas terhadap lingkungan, pemajakan transaksi digital, dan kenaikan tarif PPN menjadi isu yang menonjol pada tren perpajakan global saat ini,” ujarnya.

Di sisi lain, berbagai negara juga didorong meningkatkan kepatuhan pajak, memperkuat administrasi perpajakan, dan mendukung kerja sama perpajakan internasional dalam kerangka penguatan DRM.

Reformasi Perpajakan Indonesia

Sementara pada tingkat nasional, Indonesia telah menindaklanjuti komitmen tersebut dengan melakukan serangkaian reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan. Menurutnya Indonesia sebagai anggota G-20 telah menandatangani Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC) di tahun 2011 sebagai komitmen politik untuk mengakhiri era kerahasiaan bank. Pemerintah Indonesia dan 141 negara meratifikasi MAC di tahun 2015. “Di tahun yang sama, pemerintah juga telah menandatangani dan meratifikasi Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) dengan 110 negara,” tuturnya.

Bahkan pada 2017, pemerintah telah mengundangkan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 jo. UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. “Periode 2017-2019, pemerintah telah membuka jalan terjadinya pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,” tuturnya.

Selanjutnya, pemerintah telah menandatangani dan meratifikasi Naskah Multilateral Instrument (MLI) yang mengamendemen beberapa Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) bilateral Indonesia dengan lebih dari 40 negara secara serentak. Dengan demikian, Sri memastikan bahwa pemerintah akan terus melanjutkan agenda reformasi.

Sumber: beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only