Parlemen Dukung Pajak Perusahaan Merugi

Kecuali Golkar, mayoritas fraksi di DPR dukung klausul pajak minimum alternatif dalam RUU KUP

JAKARTA. Rencana pemerintah memungut pajak bagi wajib pajak badan yang merugi mendapat dukungan parlemen. Mayoritas fraksi di Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Komisi XI DPR mendukung inisiasi pemerintah untuk skema tarif pajak minimum alternatif alias alternative minimum tax (AMT).

Skema AMT diatur dalam Pasal 31F RUU KUP, yang mengatur bahwa tarif pajak 1% dari penghasilan bruto dikenakan untuk wajib pajak badan yang memiliki pajak penghasilan (PPh) terutang tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto.

Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUP yang diterima KONTAN, delapan fraksi mendukung klausul tersebut. Sebanyak delapan fraksi tersebut, yakni Fraksi Nasdem, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Gerindra.

Lalu Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Fraksi Demokrat. Beberapa fraksi usul adanya perubahan. Demokrat, mengusulkan pengenaan AMT difokuskan pada wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT). Sementara, Nasdem menekankan bahwa wajib pajak badan terkait tetap harus dilakukan pemeriksaan. Sehingga, pajak penghasilan minimum diperhitungkan dalam penetapan pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan.

PKB meminta agar dalam RUU KUP perlu menegaskan bahwa pengenaan AMT bagi wajib pajak badan dan BUT hanya bagi korporasi yang memiliki peredaran bruto di atas Rp 10 miliar per tahun. Usulan ini untuk memberikan kepastian bahwa pengenaan AMT tidak menyasar usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) .

Sementara Gerindra meminta threshold pengenaan AMT lebih terbatas, yaitu terhadap wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar per tahun.

Golkar Menolak

Hanya, Fraksi Partai Golkar yang menolak usulan AMT dari pemerintah. Alasannya, merujuk kajian Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pengenaan pajak penghasilan minimum hanya berlaku pada wajib pajak yang memanfaatkan sumber daya alam.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan, pemerintah akan mengikuti dinamika pembahasan di DPR.

Sebab, dalam RUU KUP tidak ada pembahasan terkait batasan peredaran bruto untuk pengenaan pajak penghasilan minimum. Namun ketentuan tersebut ada di peraturan pelaksana bila RUU KUP diundangkan.

“Ketentuan mengenai batasan 1% dari penghasilan bruto serta besarnya tarif dan/atau dasar pengenaan pajak penghasilan minimum dapat diubah dengan peraturan pemerintah,” kata Neilmaldrin kepada KONTAN, Senin (20/9).

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menjelaskan bahwa pemerintah akan mengatur tiga kriteria wajib pajak yang dikenakan AMT.

Pertama, terbatas kepada wajib pajak badan yang terbukti terdapat hubungan afiliasi. Kedua, pengenaan AMT berdasarkan omzet tertentu. Ketiga, beroperasi secara komersial dalam jangka waktu tertentu.

Karena itu Menkeu menyebut AMT tidak akan dimaksudkan untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak yang secara alamiah mengalami kerugian tertentu. Apalagi kepada wajib pajak UMKM.

“Jadi ini tujuan yang diinginkan dan agar tidak bersifat eksesif, sehingga tidak berarti tidak memalaki walaupun rugi tetap harus bayar pajak,” ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Sumber: Harian Kontan Selasa 21 Sept 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only