Rasio Pajak Tak Mampu Beranjak

Bisnis, JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak pada tahun ini diprediksi kembali terkoreksi sejalan dengan belum maksimalnya pemulihan ekonomi nasional. Jebloknya performa pemerintah dalam mengumpulkan pungutan ini tecermin dari rasio pajak atau tax ratio yang terus mengarah ke bawah.

Berdasarkan penghi-tungan yang dilakukan Bisnis, rasio pajak pada tahun ini diperkirakan hanya 7,99% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka tersebut diperoleh dengan menggunakan asumsi penerimaan pajak nonmigas pada tahun ini senilai Rp1.278,89 triliun.

Adapun, dalam Outlook 2021 total penerimaan pajak dalam negeri tercatat mencapai Rp1.324,66 triliun.

Nonmigas digunakan sebagai acuan karena merupakan potret dari keberhasilan pemerintah dalam memungut pajak.

Pasalnya, pajak sektor migas tergantung pada pergerakan harga di pasar global. Dengan kata lain, pajak nonmigas merupakan cerminan murni dari upaya ekstra atau extra effort yang dilakukan oleh otoritas pajak.

Adapun, dengan mengabaikan realisasi 2020 yang menjadi tahun pertama pandemi, estimasi rasio pajak sebesar 7,99% pada 2021 merupakan yang terendah, setidaknya dalam 10 tahun terakhir.

Pada 2018, rasio pajak memang sempat membaik yakni sebesar 8,43%. Akan tetapi, moncernya kinerja penerimaan kala itu disebabkan oleh melejitnya harga sejumlah komoditas.

Secara umum, pemerintah menargetkan rasio pajak pada tahun ini berada di kisaran 8,25%—8,63%. Angka tersebut ditetapkan dengan memasukkan penerimaan dari sektor migas.

Kalangan pengamat menilai, pencapaian target itu cukup berat mengingat performa setoran dari wajib pajak ke pemerintah terhambat akibat pengetatan mobilitas masyarakat sejak awal kuartal III/2021.

Rasio pajak akan membaik apabila Ditjen Pajak melakukan berbagai upaya ekstra untuk mendulang penerimaan.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai, secara optimistis rasio pajak pada tahun ini berada pada angka tengah dari target pemerintah, tepatnya 8,44% terhadap PDB.

Hal itu pun bisa terealisasi dengan sejumlah catatan. Pertama, memaksimalkan aspek pengawasan terutama melalui sinkronisasi data serta menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

“Penerbitan SP2DK ini mengharapkan ada pembetulan SPT [Surat Pemberitahuan] wajib pajak,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (21/9).

Kedua optimalisasi pemeriksaan pajak yang harus dituntaskan pada tahun ini, dengan target wajib pajak sepakat dengan utang pajak hasil pemeriksaan tersebut tanpa adanya keberatan.

Artinya, kinerja pemeriksaan harus sempurna sehingga menutup celah adanya penolakan atau gugatan oleh wajib pajak terkait dengan hasil pemeriksaan pajak tersebut.

Ketiga adalah menindaklanjuti program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty 2016 dengan menerapkan PAS Final atau Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif final.

“Dari data matching ini harapannya wajib pajak mau menerapkan PAS Final karena ada harta alumni Tax Amnesty yang belum dilaporkan selama program berlangsung,” ujarnya.

Pengamat Ekonomi IndiGo Network Ajib Hamdani menambahkan, strategi lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan rasio pajak adalah dengan mempercepat reformasi perpajakan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Menurutnya, untuk mendongkrak penerimaan pajak pemerintah harus memiliki instrumen regulasi, administrasi, pengawasan, dan penguatan sumber daya manusia (SDM).

“Dalam konteks pembahasan RUU KUP kita akan melihat arah orientasi dan komitmen pemerintah dalam membangun reformasi perpajakan yang berkelanjutan,” ujarnya.

Selain itu, hal yang menjadi prioritas adalah membangun basis data yang valid dan terintegrasi dalam bentuk Single Identification Number (SIN). Sebab dengan pembentukan SIN pemungutan pajak akan lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.

Sementara itu, pemerintah berkomitmen untuk melakukan berbagai upaya guna meningkatkan penerimaan.

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Salah satunya adalah memperluas cakupan perusahaan yang menjadi wajib pungut dalam perdagangan melalui transaksi elektronik (PMSE).

Dalam kaitan ini, sejak 2020 otoritas pajak menerapkan dua skema, yakni menunjuk langsung badan usaha sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PMSE dan membuka peluang bagi korporasi untuk mendaftar secara mandiri sebagai wajib pungut.

Jika perusahaan memilih skema mendaftar secara mandiri, maka akan tetap dilakukan mekanisme penunjukan selayaknya proses administrasi oleh otoritas pajak.

Penunjukkan ini tetap dilakukan agar pelaku usaha PMSE masuk ke dalam administrasi perpajakan Ditjen Pajak.

“Kami memberi kesempatan bagi pelaku usaha untuk mendaftarkan sendiri menjadi pemungut dan sudah disiapkan juga portal-nya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor.

Berdasarkan data Ditjen Pajak, total penerimaan PPN PMSE pada tahun ini mencapai Rp2,5 triliun per 31 Agustus 2021. Adapun sejak diimplementasikan pada 1 Juli 2020 hingga 31 Agustus 2021 total penerimaan PPN PMSE mencapai Rp3,2 triliun.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Rabu 22 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only