Mimpi Manis Konsolidasi Fiskal

Misi konsolidasi fiskal pada 2023 bisa jadi hanya akan menjadi mimpi yang sulit terwujud jika keseimbangan fiskal yang tengah goyah tak dapat dibenahi. Apalagi, pemerintah tidak cukup memiliki ruang untuk menyehatkan anggaran

Goyahnya keseimbangan fiskal terefleksi melalui peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang didukung oleh penurunan rasio pajak atau tax ratio.

Berdasarkan catatan Bisnis, rasio utang terhadap PDB terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2012, yang kala itu hanya 24% terhadap PDB. Sementara itu, rasio pajak atau tax ratio belum mampu beranjak.

Pada tahun ini, rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai 44,37%, jauh lebih tinggi ketimbang target pemerintah yang ditetapkan di angka 41% terhadap PDB.

Tingkat utang itu juga lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang tercatat 39,35% terhadap PDB.

Peningkatan ini sejalan dengan terus menanjaknya outs-tanding utang negara. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 pemerintah menarik banyak utang baru karena kinerja penerimaan yang tersendat.

Potensi membengkaknya rasio utang hingga mencapai 44,37% terhadap PDB itu dihitung dengan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini berada di batas bawah yakni 3,7%, sehingga menghasilkan PDB harga berlaku senilai Rp16.005,2 triliun.

Di sisi lain, outstandingutang pemerintah pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp7.101,6 triliun, yang berasal dari outstanding utang pada tahun lalu ditambah dengan outlook pembiayaan pada tahun ini.

Sesungguhnya, peningkatan utang pemerintah bukan perkara yang cukup krusial untuk diperdebatkan. Sebab, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan negara, terlepas dari manapun sumbernya.

Akan tetapi, hal itu menjadi layak untuk didiskusikan lebih jauh jika tidak diimbangi dengan kinerja penerimaan negara, terutama dari sektor pajak, dengan maksimal.

Daya pungut otoritas pajak masih cukup lemah. Berdasarkan penghitungan Bisnis, rasio pajak pada 2021 hanya 7,99%.

Publik pun memaklumi, lonjakan utang sejak tahun lalu merupakan langkah luar biasa yang dialami oleh banyak negara, tak hanya Indonesia.

Pemerintah pun telah melakukan berbagai mitigasi risiko yang timbul dari kondisi tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfi rman.

Dia menjelaskan, pemerintah berkomitmen untuk menjaga keseimbangan biaya (cost) dan risiko (risk) dengan melakukan diversifikasi portofolio utang, melalui pelaksanaan debt switching, buyback, dan konversi pinjaman.

Strategi pembiayaan utang pun cukup dinamis, fleksibel, dan opportunistik dalam memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah ketidakpastian ekonomi sejak tahun lalu.

Luky meyakini, stabilitas rasio utang akan terealisasi pada 2023 sejalan dengan misi konsolidasi fiskal yang tengah diperjuangkan.

“Dalam jangka panjang, seiring upaya konsolidasi fiskal, defisit APBN kembali menurun dan terkendali sehingga rasio utang berangsur stabil seiring pemulihan ekonomi dan perbaikan pendapatan negara,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Persoalannya kemudian, seberapa cerah prospek ekonomi dan perbaikan kinerja penerimaan negara pada 2021 dan 2022?

Prospek pertumbuhan ekonomi sebenarnya sempat menunjukkan cahaya terang tatkala strategi pemu-lihan berjalan efektif dan stimulus tetap dikucurkan dengan deras pada awal tahun ini.

Akan tetapi, arus pemulihan berbalik arah ketika varian Delta Covid-19 mulai masuk ke Indone-sia. Hal ini pun di luar skenario pemerintah.

Akibatnya, prospek ekonomi pada paruh kedua tahun ini kembali gelap, pun tahun depan, mengingat varian baru yakni Mu tengah mengintai banyak negara, termasuk Indonesia.

Seperti yang sudah-sudah, lesunya ekonomi tentu memiliki efek berganda yang sangat besar, yakni pembatasan mobilitas masyarakat. Akibatnya aktivitas usaha terhenti, dan penyesuaian bisnis oleh pelaku usaha dieksekusi.

Pada ujungnya kondisi ini berimpak pada seretnya kinerja penerimaan, serta potensi pembengkakan belanja untuk meng-ompensasi hilangnya penghasilan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.

Jika kondisi ini tak diantisipasi, maka konsolidasi fiskal hanya sekadar asa yang sulit menjadi nyata.

OUTLOOK PENERIMAAN

Sementara itu, kalangan eko-nom pesimistis dengan pencapaian target-target pemerintah pada tahun ini, yang dijadikan dasar untuk mewujudkan konsolidasi fi skal.

Pertama, dari sisi pajak. Outlookpenerimaan pajak senilai Rp1.142,5 triliun pada 2021 atau tumbuh 6,5% dibandingkan dengan capaian 2020, menurut pengamat masih cukup berat untuk dicapai.

Pasalnya ekonomi pada kuartal III/2021 diperkirakan kembali tertekan sejalan dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara ketat.

Pakar Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, menimbang kondisi yang penuh dengan tekanan, penerimaan pajak pada tahun ini tidak akan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.

“Dengan asumsi ekonomi bakal tumbuh 4,9% pada 2021, hitungan saya penerimaan pajak hanya akan tumbuh 2,6%,” katanya.

Fajry menambahkan, kinerja penerimaan pajak sebenarnya telah membaik pada kuartal II/2021. Akan tetapi pada awal kuartal III/2021 terjadi ledakan varian Delta sehingga pergerakan ekonomi harus dikurangi, dan pada ujungnya mengoyak setoran pajak.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menambahkan, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5% dan infl asi 3%, idealnya pertumbuhan alamiah pajak sekitar 8%. Hal itu pun dengan memperhitungkan upaya ekstra yang dilakukan oleh otoritas pajak.

“Tetapi dalam jangka pendek penerimaan pajak sepertinya masih sulit untuk tumbuh tinggi atau mencapai target,” ujarnya.

Menurutnya, sempitnya ruang untuk merealisasikan target itu disebabkan oleh efek pandemi dan krisis yang menghambat setoran pajak, insentif atau stimulus fiskal, dan penurunan tarif pajak.

Kedua, dari sisi defisit. Kinerja penerimaan yang tidak seimbang dengan besarnya kebutuhan belanja berimplikasi pada melebarnya de-fi sit anggaran, yang dalam outlook APBN 2021 ditetapkan 5,82% terhadap PDB, lebih dalam dibandingkan dengan target awal yang hanya 5,7% terhadap PDB.

Pengajar Ekonomi Universitas Diponegoro Wahyu Widodo menilai, celah defisit masih cukup menganga kendati pemerintah memiliki tenaga baru setelah memperpanjang skema burden sharing dengan Bank Indonesia (BI).

Menurutnya, defisit pada tahun ini bahkan berpotensi mencapai 6,2% terhadap PDB sebagaimana proyeksi International Monetary Fund (IMF).

Wahyu menjelaskan, defisit anggaran 5,82% adalah kombinasi dari perkiraan naiknya nominal defisit pada 2021 dan turunnya outlook pertumbuhan ekonomi, sehingga secara persentase naik cukup tinggi dibandingkan dengan target awal.

“Ini memang tidak lepas dari kondisi Covid-19 yang situasinya masih unpredictable, dan biaya mitigasinya bersumber dari penerbitan Surat Utang Negara [SUN],” ujarnya.

Dengan mengacu pada fakta dan olah data itu, pemerintah memang membutuhkan upaya ekstra untuk mewujudkan konsolidasi fiskal pada 2023, yang salah satunya menca-kup normalisasi defisit kembali di bawa 3% terhadap PDB.

Di sisi lain, otoritas fiskal pun perlu realistis. Ketidakmampuan untuk menyeimbangkan fiskal toh bisa dimaklumi, mengingat ini terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi.

Pada intinya, tak perlu memaksakan konsolidasi fiskal jika memang jalan yang dilalui sangat terjal.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Rabu 22 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only