Pajak dan Daya Tarik Indonesia

Pemulihan ekonomi Indonesia masih penuh tantangan.Bukan karena faktor eksternal tapi juga internal yang butuh solusi. Ini nampak dari kelahiran Undang- Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Parlemen dan pemerintah sepakat dengan semangat yang sama: Indonesia sudah pulih. Maka beleid harmonisasi perpajakan dibuat dalam situasi ekonomi yang normal. Dengan dalih keadilan, semua barang dan jasa akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%, naik 1% dari saat ini yakni 10%.

Kebijakan PPN ini berlaku 1 April 2022. Naik lagi menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Pajak 0% hanya berlaku untuk ekspor barang dan jasa. Namun, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN dengan batas terendah 5% dan tertinggi 15%.

Dus, artinya era baru semua barang dan jasa kena pajak akan dimulai, tanpa kecuali. Kenaikan 1% di tahun depan jangan dianggap kecil apalagi nilai belanja barang dan jasa masyarakat terbilang besar. Peningkatan tarif PPN juga juga mencerminkan peningkatan harga barang dan jasa alias inflasi. Tak pelak, lagi – lagi, ini bisa menambah beban belanja masayarakat yang sesungguhnya belum pulih dari hantaman pandemi Covid-19.

Pungutan PPN memang cara mudah bagi pemerintah untuk menggaruk pajak. Dengan perusahaan sebagai pemungut pajak, aparat tak perlu ekstra keras menambah setoran pajak.

Praktik di negara lain, PPN lebih sohor dengan good and service tax alias GST. Umumnya berlaku single rate atau tarif tunggal. Di ASEAN, tarif GST dalam rentang 7%-12%. Singapura, Thailand mengintip GST 7%, Filipina 12%. Laos, Kamboja, Vietnam 10%.

Kenaikan 1% di April 2022 menjadikan tarif kita lebih tinggi dibandingkan dengan Laos, Kamboja, dan Vietnam, juga Singapura serta Thailand.

Tren dunia, tarif PPN atau GST memang mendaki. salah satu yang berancang – ancang menaikkan GST adalah Singapura, dari yang berlaku saat ini 7% menjadi 9%. Berbading terbalik dengan tarif pajak badan alias pajak penghasilan (PPh) yang dalam tren menurun, seiring daya tarik dan daya saing antar negara. Singapura semisal, pungutan PPh sebesar 17%.

Sejak 2016, Vietnam memungut tarif PPh badan 20%, bahkan untuk daerah tertinggal hanya 17% dan sangat tertinggal 10%. Yang juga menarik, sejak pandemi, Vietnam bahkan memberikan kelonggaran pajak 15%-17%.

Indonesia memang beda cerita. Jika merujuk UU HPP, tarif PPh menjadi 22% ditahun depan. Uniknya, tarif ini beda dengan tari di UU Cipta Kerja yang digadang jadi penarik investasi 20%. Pemerintah mesti berhati – hati dalam kebijakan perpajakan. Penaikkan PPN di tengah upaya memulihkan ekonomi bisa jadi pemberat. Harus diakui, ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi.

Pungutan PPN akan berefek pada kenaikan harga barang dan jasa. Dan ini bisa menahan konsumsi yang menjadi bahan bakar ekonomi kita. Pun dengan tarif PPh yang sedianya untuk menarik investasi malah gagal sebelum berkembang. Indonesia harus memiliki daya tarik, tak semata bertumpu pada konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah. Kita butuh investasi masif, baik dari lokal maupun investor luar. Indonesia memang harus punya daya tarik investasi untuk mengerek ekonomi.

Harus diakui, pekerjaan menarik investasi adalah pekerjaan berat tapi harus dilakukan. Tapi, kita harus membangun industri manufaktur yang kuat, menggarap pasar di negeri sendiri, bukan semata menjadi pasar negara lain. China, Korea Selatan, Vietnam, Thailand melakukannya.

Kita harus bisa.

Sumber : Tabloid kontan tgl 11 Oktober – 17 Oktober 2021 hal : 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only