Emiten dan Bursa Saham Terimbas Beleid Pajak Baru

Kenaikan tarif PPN, tarif PPh badan batal turun hingga pajak karbon paling disorot pasar.

JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang. Ada sejumlah poin dari beleid pajak ini yang berpotensi mempengaruhi kinerja emiten dan pasar saham dalam negeri (lihat tabel).

Salah satunya ialah kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebelum ini dipatok sebesar 10%. Mulai April 2022, tarif PPN akan naik menjadi 11% dan menjadi 12% pada Januari 2025.

Kenaikan PPN ini akan berdampak langsung ke emiten manufaktur, terutama yang bergerak di sektor barang konsumsi dan ritel, lantaran produk yang dijual merupakan barang objek PPN. “Secara garis besar, kenaikan PPN berdampak pada penurunan konsumsi dan naiknya biaya produksi,” jelas Okie Ardiastama, analis Pilarmas Investindo Sekuritas, kemarin.

Direktur PT Kino Indonesia Tbk (KINO) Budi Muljono menyatakan, kenaikan PPN akan berdampak pada daya beli konsumen, terutama di produk-produk dasar dan kompetitif. Otomatis, penjualan emiten juga berpotensi terdampak. “Dalam hal ini bisa berdampak pada penjualan, potensi penurunan akan berada di kisaran 1%-2%, sesuai dengan kenaikan PPN tersebut,” papar Budi.

Namun Budi masih menyimpan rapat strategi KINO menghadapi beleid kenaikan PPN ini. “Kami harus evaluasi kembali,” cetus dia.

Selain itu, pemerintah batal menurunkan pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan. Tarif PPh wajib pajak badan (korporasi) masih dipertahankan sebesar 22%.

Sekadar mengingatkan, sebelumnya pemerintah berencana menurunkan PPh badan dari 22% menjadi 20% tahun depan. Penurunan PPh badan ini juga sebagai insentif bagi industri untuk mengatasi efek pandemi Covid-19. Bahkan, pemerintah juga mempertimbangkan diskon tambahan PPh sebesar 3%.

Budi menyayangkan keputusan pemerintah yang membatalkan rencana penurunan PPh badan menjadi 20% tersebut. Padahal, pengurangan PPh badan akan berdampak positif bagi perusahaan, terlebih di tengah kenaikan PPN.

Menurut Budi, kenaikan PPN berpotensi mengurangi margin emiten, karena beban naik. “Pengurangan PPh badan tersebut tadinya dapat mengurangi beban perusahaan, yang pada akhirnya dapat menopang kinerja laba bersih,” tutur dia.

Efek jangka pendek

Manajemen PT XL Axiata Tbk (EXCL) melihat, bila PPh badan bisa diturunkan, kinerja emiten bakal terbantu. “Ini akan cukup membantu perusahaan dalam menurunkan beban biaya yang ada, sebab pengeluaran pajak XL Axiata saat ini mayoritas dari pengeluaran PPh badan,” kata Tri Wahyuningsih, Group Head Corporate Communication PT XL Axiata Tbk.

Okie menambahkan, batalnya penurunan PPh badan tersebut dapat menjadi hambatan bagi emiten dalam melakukan ekspansi. Pasalnya, margin emiten tertekan kenaikan biaya, sehingga mengurangi laba yang bisa disisihkan sebagai modal.

Selain itu, dalam beleid pajak baru ini, pemerintah mengenakan pajak karbon. Pemerintah akan memungut pajak karbon mulai 1 Januari 2022. Nilai pungutannya yakni Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Di tahap awal, pajak karbon bakal dipungut dari sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.

Meski begitu, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia Samsul Hidayat menilai dampak aturan pajak baru ke pasar saham tidak berdampak signifikan. Alasannya, beleid baru ini hanya akan berdampak dalam jangka pendek ke kinerja emiten. “Dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian,” papar dia.

Ia juga menilai efek penundaan penurunan PPh ke kinerja emiten tidak akan besar. “Perubahan tersebut hanya akan mengubah asumsi anggaran,” sebut dia.

Sumber : Harian Kontan Selasa 12 Oktober 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only