PPh Perusahaan Digital dan Multinasional di 2023

Kesepakatan OECD diharapkan bisa diimplementasikan mulai pertengahan tahun 2023

JAKARTA. Upaya Indonesia mengoptimalkan pajak digital dan pajak perusahaan multinasional kian terbuka. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat kesepakatan atas proposal Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), Jumat (8/10).

Dalam laporan resmi, OECD menyebut sebanyak 136 negara atau yurisdiksi yang telah menyepakati aturan perpajakan internasional tersebut dan akan menandatangani kesepakatan multilateral paling lambat pertengahan tahun 2022. Selanjutnya kesepakatan dapat ini akan diimplementasikan pada 2023.

Dalam Inclusive Framework on BEPS terdapat dua pilar yang disepakati. Pilar 1 yaitu Unified Approach yakni pemungutan pajak penghasian (PPh) bagi perusahaan multinasional dengan tidak mempertimbangkan kehadiran fisik. Syaratnya perusahaan itu mengambil manfaat ekonomi di suatu negara, maka mereka harus bayar pajak.

Aturan tersebut menyasar pada perusahaan digital seperti Google, Amazon, Facebook, Apple, juga Netflix platform layanan streaming film tidak memiliki kantor di Indonesia, tapi punya banyak pelanggannya di Indonesia.

Kesepakatan Pilar 1, yakni 25% residual profit perusahaan multinasional akan dialokasikan ke negara pasar. Ini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan penjualan global di atas 20 miliar dan profitabilitasnya lebih dari 10% (Lihat tabel).

OECD juga menyepakati penghapusan digital services tax (DST) di negara-negara yang lebih dulu memungut seperti India, Italia, Austria, Turki, Inggris, dan Spanyol.

Pilar 2 adalah Global Anti Base Erosion (GloBE) untuk menghentikan upaya penghindaran pajak perusahaan multinasional yang umumnya dilakukan karena perbedaan tarif pajak korporasi antar negara. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional mengalihkan laba yang didapat ke negara yang menawarkan tarif pajak rendah.

Alhasil, OECD bermufakat tarif global minimum tax yang berlaku sebesar 15%. Tarif ini berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta. Namun Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Sri Langka belum bergabung dalam kesepakatan Pilar 1.

Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann mengatakan, perjanjian ini akan membuat pengaturan pajak internasional lebih adil. “Ini kemenangan besar bagi multilateralisme yang efektif dan seimbang,” katanya.

Hitungan OECD, melalui Pilar 1 dan Pilar 2 setidaknya akan mengalokasikan lebih dari US$ 125 miliar profit dari sekitar 100 perusahaan multinasional ke negara-negara di seluruh dunia. Hal ini memastikan perusahaan-perusahaan membayar bagian pajak yang adil baik di negara tempat beroperasi maupun menghasilkan keuntungan.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak belum mau memberikan komentar terkait kesepakatan OECD tersebut.

Sementara, Pengamat Pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kesepakatan tersebut bisa berdampak positif bagi Indonesia. Kendati demikian, kebijakan substance carve-out sebesar 5% dalam Pilar 2 tetap ada. Hal ini yang nantinya akan membuat global minimum tax kurang optimal. Ia menyebut dengan kesepakatan ini setidaknya Indonesia dapat memajaki Multinasional Enterprises (MNE) yang meski tak punya kehadiran fisik, tapi masuk kriteria kehadiran ekonomi secara signifikan seperti di ketentuan Pilar I.

Sumber : Harian Kontan Selasa 12 Oktober 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only