KPPOD nilai perubahan tarif pajak daerah dalam UU HKPD tak berdampak signifikan

JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-10 masa persidangan II Tahun Sidang 2021-2022.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman, mengatakan, beberapa perubahan dalam aturan UU HKPD salah satunya mengenai tarif pajak daerah tidak terlalu berdampak signifikan terhadap perubahan daerah.

Dia menyoroti beberapa hal terkait aturan tarif pajak daerah baru.

Pertama, dalam aturan terbaru, kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2%, sementara dalam aturan lama paling rendah sebesar 1% dan paling tinggi sebesar 2%.

Arman mengatakan, ika melihat dari sisi beban wajib pajak itu tidak mengalami perubahan.

“Karena pada pajak kendaraan bermotor (PKB) sendiri salah satu pajak yang diopsenkan. Dalam arti PKB yang saat ini menjadi kewenangan provinsi, dengan sistem opsen nanti, Pemerintah Kabupaten/Kota berhak mementukan persentase sebanyak 60% untuk menarik opsen, dan setelah dikalkulasi sebenarnya kurang lebih sama dengan apa yang dibayarkan tarif PKB sebelumnya,” kata Arman kepada Kontan.co.id, Minggu (12/12).

Kedua, terdapat beberapa perubahan pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang ditetapkan paling tinggi 0,5%, setelah dalam aturan sebelumnya sebesar 0,3%. Arman menilai, perubahan tersebut bisa berdampak negatif terhadap perekonomian daerah.

Hal ini karena dengan presentasi pengenaan pajak paling tinggi 0,5%, akan bisa menimbulkan beban baru bagi dunia usaha, terutama para pengusaha dibidang properti, atau pengusaha yang berjualan terkait bangunan.

Baca Juga: Menkeu hapus kewajiban pemerintah pusat untuk transfer 26% DAU ke pemda

“Meskipun pemerintah daerah bisa menerapkan tarif di bawah 0,5%, tetapi selama pengalaman empiris, jarang sekali pemerintah daerah menetapkan tarif di bawah maksimal. Pasti selalu menerapkan tarif yang maksimal,” jelas Arman.

Untuk itu, Arman berharap pemerintah daerah bisa menentikan tarif PBB-P2 ini dibawah batas paling tinggi, meskipun kecil kemungkinannya terjadi.

Ketiga, Arman menyoorti terkait pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk penggunaan listrik. Menurutnya ketentuan tersebut sebenarnya sama dengan ketentuan yang ada dalam UU 28/2009.

Adapun pajak penerangan jalan dari sisi tarif dibagi menjadi 3 kategori, yakni penggunaan listrik dari sumber lain atau PLN maksimal 10%, untuk industri pertambangan minyak dan gas yang menggunakan PLN maksimal 3%. Kemudian untuk pengguna listrik yang dihasilkan sendiri maksimal 1,5%.

Persoalannya, selama ini khusus untuk industri-industri yang menggunakan listrik yang dihasilkan sendiri, tarif sebesar 1,5% dinilai memberatkan. Alasannya listrik-listrik yang dihasilkan sendiri dilihat sebagai salah satu faktor produksi, kemudian dibebankan dengan pajak, maka akan menimbulkan beban tambahan dan meningkatkan harga dari industri yang bersangkutan.

“Adanya listrik yang dihasilkan sendiri ini berindikasi bahwa negara memiliki keterbatasan dalam infrastruktur listrik, maka ketika industri menggunakan listrik yang dihasilkan sendiri, sebenarnya itu adalah sumbangsih yang diberikan oleh dunia usaha kepada pemerintah. Tapi kenapa dipajaki,” kata Arman.

Untuk itu, Arman berharap adanya kegelisahan terhadap aturan baru dalam UU HKPD ini dapat menjadi perhatian pemerintah terkait tarif pajak tersebut.

Selain itu, dalam situasi pandemi Covid-19 ini, yang perlu diperhatikan juga pemerintah pusat harus melakukan asistensi teknis kepada pemerintah daerah.

Meskipun dalam UU ditetapkan batas atas dalam sebuah pajak tertentu, yang perlu dilakukan oleh daerah adalah menentukan tarif-tarif yang realistis sesuai dengan daya dukung daerah. Misalnya terkait dengan pajak PBB-P2 yang maksimal 0,5%, daerah bisa saja menentukan tarif dibawa angka tersebut.

Lebih lanjut, Arman mengatakan, secara keseluruhan dalam UU HKPD ini tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Sebenarnya, Dia membayangkan dalam UU tersebut ada beberapa perubahan fundamental seperti, PPh badan atau PPN itu tidak dibagihasilkan ke daerah.

Sehingga dengan adanya pembagian hasil seperti itu, akan bisa meningkatkan kapasitas daerah.

“Tapi sejauh in melihat dalam UU HKPD masih jauh, karena yang diberikan kewenangan kepada daerah adalah pajak-pajak yang menurut kami tidak terlalu berdampak signifikan terhadap daerah,” pungkas Arman.

Sumber. kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only