APBN Arab Saudi Bisa Surplus Rp343 T Gara-gara Harga Minyak Mengilap

Pemerintah Arab Saudi memperkirakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mereka akan surplus sekitar 90 miliar riyal Arab atawa setara Rp343,8 triliun (kurs Rp3.820 per riyal Arab) pada 2022 nanti. Proyeksi APBN surplus muncul karena harga minyak naik dalam beberapa waktu terakhir.

Asumsinya, kenaikan harga minyak akan membuat pendapatan negara mencapai 1,04 triliun riyal atau Rp3.991,9 triliun. Sementara itu, belanja negara kemungkinan hanya sebesar 955 miliar riyal atau Rp3.648,1 triliun.

“Hasil dan indikator keuangan dan ekonomi mengonfirmasi bahwa kami mengalami kemajuan yang positif,” ungkap Putra Mahkota Mohammed bin Salman seperi dikutip dari AFP, Senin (13/12).

Proyeksi ini berbanding terbalik dengan asumsi awal yang dibuat pada September lalu, di mana pemerintah setempat memperkirakan APBN 2022 bisa defisit 52 miliar riyal atau Rp198,64 triliun. Sementara, APBN 2021 diramal defisit 84 miliar riyal atau Rp320,88 triliun.

Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud mengatakan proyeksi positif ini akan digunakan Pemerintah Arab Saudi untuk menyejahterakan masyarakat di berbagai aspek.

“Kami bertujuan untuk lebih memperhatikan keamanan dan kesehatan warga dan penduduk, pembangunan manusia, kelanjutan pertumbuhan dan keragaman ekonomi dan keberlanjutan keuangan,” kata Raja Salman.

Sementara harga minyak Brent saat ini berada di kisaran US$75,15 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate US$71,67 per barel. Namun, para pengamat ekonomi menilai pemerintah membutuhkan harga minyak di kisaran US$80 per barel untuk menyeimbangkan APBN ke depan.

Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan mengatakan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan produksi minyak negaranya sebesar 9,8 juta barel per hari pada Oktober 2021.

Jika ramalan itu benar, maka Arab Saudi akan mendulang surplus anggaran 206 miliar riyal atau Rp786,92 triliun dan menjadi surplus pertama sejak 2013.

Maklum saja, dua per tiga ekonomi Arab Saudi masih disumbang dari industri minyak pada saat ini. Negara produsen minyak terbesar di dunia itu pernah mengalami masa-masa emas ketika harga minyak lebih dari US$100 per barel pada 2014.

Tetapi setelah itu, harga minyak jatuh dan memberi dampak ke APBN Arab Saudi, di mana defisit mulai terjadi. Hal ini sempat membuat pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik kepada masyarakat.

Selain itu, pemerintah mulai meningkatkan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada masyarakat. Pemerintah setempat juga sempat meminjam dana untuk cadangan kas negara hingga mendiversifikasi sumber ekonomi selain minyak.

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only