IMF dan Kenaikan Tarif PPN

Pemerintah Indonesia terus berupaya menggulirkan kosolidasi fiskal. Hal ini dilakukan untuk mengerek penerimaan negara agar bisa kembali ke pakem awal defisit anggaran di 2023 sebesar maksimum 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu strateginya dengan disahkannya Undang-Undang (RUU) Hapmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021.

Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah ketentuan tarif PPN. Tarif normal PPN naik menjadi 11% dari 10% yang mulai efektif berlaku 1 April 2022 mendatang. Sebelumnya, pemerintah merencanakan kenaikan tarif ini menjadi 12%. Namun, pelaksanaannya akan ditunda paling lambat saat awal tahun 2025.

Tarif baru PPN itu sebenarnya masih dalam rentang yang diizinkan. Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mengamanahkan interval tarif PPN dari 5% sampai dengan 15%. Yang menjadi persoalan adalah kenaikan tarif PPN dilaksankan ketika daya beli masyarakat masih lesu akibat pandemi. Dengan begitu, output yang dihasilkan dari kebijakan tersebut dapat menjadi kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi nasional maupun konsolidasi fiskal.

Masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah tentunya yang paling terdampak. Dengan tingkat penghasilan yang cenderung tetap, sulit bagi mereka yang langsung pulih di 2022. Di sisi lain, peningkatan tarif PPN berkaitan erat dengan inflasi, yang pada gilirannya menggerus daya beli masyarakat. Alhasil, hanya ada dua opsi yang dipilih: menghemat pengeluaran atau mencari substitusi barang yang bebas dari PPN. Kedua-duanya menggambarkan penuruan konsumsi dan ujungnya penerimaan negara turun.

Tesis ini sejatinya dapat diverivikasi melalui garis anggaran (budget line) yang dibahas dalam teori perilaku konsumen. Kenaikan tarif PPN niscaya meningkatkan beban konsumen dalam bentuk kenaikan harga. Efek kenaikan harga terhadap kuantitas barang yang dikonsumsi tergantung pada jenis barang itu sendiri.

Untuk barang mewah, efek perubahan harga tidak terlalu besar., perubahan kuantitas permintaan barang mewah lebih sensitif terhadap perubahan pendapatan ketimbang perubahan harga. Fenomena ini dikenal sebagai efek pendapatan (income effect). Dengan begitu, kenaikan tarif PPN dapat menjadi stimulus perbaikan keseimbangan primer.

Untuk barang kebutuhan pokok beralaku sebaliknya. Kuantitas permintaan lebih elastis terhadap harga ketimbang pendapatan. Artinya, kenaikan harga jual barang akan mendistori jumlah konsumsi meskipunpendapatan konsumen meningkat (price effect). Sebagai konsekuensinya, mereka akan  mencari alternatif barang dengan harga yang tidak naik. Situasi macam ini akan menyulitkan upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara.

Usulan IMF

Mengingat kondisi saat ini, efek kenaikan harga terhadap kebutuhan pook agaknya lebih relevan untuk dibicarakan. Sebagian besar masyarakat indonesia masih berupaya untuk memenuhi kebutuhan primernya ditengah pagebluk Covid-19. Artinya, secara umum, kenaikan tarif PPN bisa menjadi bumerang bagi ketahanan perekonomian masyarakat.

Namun, perlu disadari bahwa rencana kenaikan tarif PPN di Indonesia bukanlah perkara baru. Pada tahun 2017, Indonesia pernah berkonsultasi dengan International  Monetari Fund (IMF) terkait kebijakan fiskal dan strukturan lainnya untuk mendorong potensi pertumbuhan. Hasil konsultasi tersebut dilaporkan oleh IMF dalam IMF Executive Board Concludes 2017 Article IV Consultation with Indonesia.

Pada laporan IMF menyebutkan indonesia perlu menaikkan tarif PPN menjadi 12% dari 10% guna meningkatkan penerimaan negara setidaknya tiga poin persentase PDB. Ini akan memungkinkan pemerintah memperluas pengeluaran untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan mendukung reformasi struktural

Laporan ini menyiratkan keputusan untuk meningkatkan tarif PPN di Indonesia tidak terlepas dari peran IMF. Hal yang senada juga diungkapkan dalam laporan Oxfam yang bertajuk Owning Development: Texation to flight poverty tahun 2011. Dalam abstraknya ditulis bahwa kebiakan pajak di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh IMF.

Tanpa adanya penyesuaian struktural, kebijakan yang demikian dapat menimbilkan dampak negarif. PPN secara inheren bisa jadi lebih regresif, terutama saat perekonomian memiliki sektor informal sebesar Indonesia.

Menaikkan tarif PPN untuk mendongkrak penerimaan memang dibenarkan dalam tataran teoritis karena pajak yang satu ini memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan PPN yang sering dikutip adalah bahwa pajak ini dikumpulkan ke seluruh rantai produksi sehingga memberikan keunggulan praktis.

Selain itu, penegakkan hukum PPN relatif lebih mudah ketimbang Pajak Penghasilan (PPh). Otoritas fiskal dapat embandingkn penjualan dan pembelian dari setiap produk antara (intermediate product) yang dilaporkan produsen yang menggunakan produk tersebut sebagai input dalam suatu rantai produksi vertikal.

Namun, apakah menaikkan tarif PPN saat daya beli masih lemah itu tepat? Pada kondisi normal saja tarif 10% yang sebelumnya berlaku sepertinya sudah menjadi yang paling optimum karena setara dengan margin keuntungan. Seperti ilustrasi di kurva laffer, jika tarif optimu terlampaui, penerimaan negara justru mengalami penurunan. Kekhawatiran ini dapat dihindari bila kenaikan tarif PPN dikompensasi dengan penurunan tarif PPh Badan. Sayangnya, wacana penurunan tarif PPh Badan dari 22% ke 20% pada 2022 dibatalkan karena pertimbangan tertentu.

Berharap agar pemerintah mencabut kenaikan tarif PPN yang sidah ketok palu rasanya kurang realistis. Meski dapat diupayakan, tapi prosesnya sangat panjang dan melelahkan. Untuk itu, hanya saran yang dapat penulis sampaikan melalui tulisan ini.

Tidak bisa dipungkiri kenaikan tarif PPN akan merugikan konsumen karena harga barang menjadi lebih mahal. Oleh karenanya, pemerintah harus mengompensasi kerugian tersebut agar utilitas konsumen dapat kembali ke posisi semula sebelum harga naik. Kompensasi tersebut dapat direalisasikan melalui bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi lainnya yang dialamatkan kepada peningkatan daya beli masyarakat.

Pajak sudah sepantasnya tidak hanya dipandang sebagai persoalan kas negara. Karenanya, segala kebijakan yang diambil harus bisa menjadikan pajak sebagai lokomotif pertumbuhan pemerataan, dan stbilitas ekonomi. Dengan begitu, akuntabilitas pemerintah dan kepercayaan publik dapat meningkat. Kedua indikator ini dapat menjadi modal utama dari tumbuhnya oertumbuhan pajak sukarela.

Negara maju seperti di Skandinavia sadar betul pentingnya pajak. Masyarakat disana rela “digetok” dengan tarif PPh korporasi hingga 70% karena kepercayaan mereka terhadap kinerja pemerintah dan utilitas yang diperoleh dari “hasil” pembayaran pajak.

Sumber: Harian Kontan Sabtu 06 Desember 2021, hal: 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only