“Tax Amnesty” Jilid II, Ikut atau Tidak?

Pasca Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (TA) Jilid I tahun 2016-2017, Indonesia kini kembali mengadakan TA Jilid II dengan aturan main yang sedikit berbeda. Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), TA Jilid II berlaku mulai 1 Januari 2022 dan berakhir pada 30 Juni 2022. TA Jilid II kali ini dinamakan dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Aturan main PPS menggunakan dua skema yang berbeda. Skema Kebijakan 1 dapat diikuti oleh Wajib Pajak yang pernah mengikuti TA Jilid I baik Orang Pribadi maupun Badan. Sedangkan skema Kebijakan 2 hanya dapat diikuti oleh Orang Pribadi baik yang pernah mengikuti TA Jilid I maupun yang belum. Wajib Pajak dapat mengikuti PPS dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) secara elektronik melalui laman djponline.pajak.go.id.

Objek PPS adalah harta bersih. Harta bersih tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan. Harta bersih yaitu total nilai harta setelah dikurangi hutang yang terkait dengan perolehan harta tersebut. Objek PPS meliputi harta yang belum diungkap dalam TA Jilid I untuk skema Kebijakan 1 maupun harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 -31 Desember 2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 untuk skema Kebijakan 2.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021, harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud, bergerak, digunakan usaha maupun tidak, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah NKRI. Harta atau aset yang dimaksud meliputi kas atau setara kas, tanah dan/atau bangunan, kendaraan bermotor, emas dan perak, saham dan waran, Surat Berharga Negara (SBN), efek, alat elektronik, koleksi barang mewah maupun jenis harta lainnya.

Namanya juga Program Pengungkapan Sukarela, maka PPS ini tidak bersifat wajib alias Wajib Pajak bisa memilih apakah ikut atau tidak. Bagi mereka yang selama ini merasa yakin telah taat pajak tanpa celah, maka sebenarnya tidak berkepentingan untuk mengikuti PPS. Namun, bagi yang merasa belum taat pajak utamanya dalam periode tahun pajak 2016-2020, PPS ini menjadi momen penting untuk bertobat dan memulai lembaran baru sebagai Wajib Pajak yang sadar dan peduli pajak.

Menariknya akan ada trade off bagi Wajib Pajak dalam menyikapi PPS ini, yakni antara memilih ikut serta atau tidak. Akan ada cost , benefit, dan risiko yang dihadapi dalam membuat keputusan. Dalam Teori Mikro Ekonomi, keputusan ini dikenal dengan Decision Making (Choice) under Uncertainty yang dipelopori oleh Von Neumann dan Morgenstern (1944). Dalam menjelaskan uncertainty tersebut keduanya menggunakan model yang dikenal dengan fungsi utilitas Von Neumann Morgenstern (VNM).

Dengan menggunakan pendekatan model VNM, keputusan Wajib Pajak untuk ikut PPS akan bergantung pada tiga hal. Pertama, probabilitas audit, yakni kemungkinan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan audit atau pemeriksaan pasca-PPS. Semakin tinggi probabilitas Wajib Pajak akan diaudit, mereka akan mempertimbangkan untuk ikut PPS. Sebab mereka akan khawatir dikenakan tarif dan finalty yang besar dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) jika tidak mengikuti PPS.

Demikian pula jika Wajib Pajak telah memutuskan untuk ikut PPS, maka akan ada dua kemungkinan, yakni mengungkap seluruh hartanya atau sebagian saja. Keputusan tersebut juga tergantung dari probabilitas hartanya ditemukan oleh DJP. Semakin tinggi probabilitas harta diketahui keberadaannya oleh DJP, peserta PPS akan cenderung mengungkap seluruh hartanya.

Kedua, Tarif Uang Tebusan. Wajib Pajak yang ingin mengikuti PPS harus bersedia membayar uang tebusan berupa PPh Final atas harta bersih yang diungkap. Jika tarif uang tebusan PPS dianggap sangat tinggi, dimana Certainty Utility melebihi Exfected Utility maka Wajib Pajak cenderung tidak akan ikut PPS.

Aturan main PPS memungkinkan Wajib Pajak bebas memilih tarif uang tebusan. Tarif skema Kebijakan 1 mulai dari 6%, 8%, dan 11%, sedangkan tarif Kebijakan Skema 2 sebesar 12%, 14%, dan 18 %. Tarif terendah 6% dan 12% (masing-masing sesuai pilihan skema 1 atau 2) dikenakan atas repratriasi aset luar negeri atau deklarasi aset dalam negeri yang bersedia diinvestasikan pada sektor pengelolaan SDA, energi terbarukan, atau SBN.

Jika tidak diinvestasikan pada sektor-sektor tersebut, maka tarifnya lebih tinggi menjadi 8% dan 14%. Sedangkan tarif tertinggi sebesar 11% dan 18% dikenakan atas deklarasi aset luar negeri tanpa melakukan repratriasi (pengembalian) aset luar negeri ke dalam negeri.

Ketiga, finalty (sanksi denda kenaikan). Jika finalty ini dianggap cukup besar maka akan menjadi insentif bagi Wajib Pajak untuk patuh dan mau mengikuti PPS sesuai ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika finalty tersebut masih dianggap kecil, maka Wajib Pajak akan cenderung tidak patuh.

Manakala Wajib Pajak memilih untuk tidak ikut PPS ataupun ikut PPS tapi tidak mengungkap seluruh hartanya, harus siap menanggung risiko. Tentu saja dengan konsekuensi dikenakan finalty berupa denda kenaikan sebesar 200% dari objek Skema 1, atau sebesar 30% dari objek Skema 2 atas harta yang kurang atau belum diungkap. Selain itu, bagi yang tidak ikut PPS beresiko terkena tarif Pasal 17 UU KUP beserta sanksi administrasi bunga atas tambahan penghasilan 2016-2020 melalui penerbitan SKPKB.

Dalam merespons Tarif Uang Tebusan maupun finalty, Wajib Pajak akan tetap berhitung pada probabilitas audit dan probabilitas ditemukan persembunyian hartanya oleh DJP. Ini berlaku baik bagi mereka yang risk averse (takut risiko) maupun risk lovers (penyuka risiko). Meskipun kemungkinan risk averse untuk ikut PPS akan lebih besar daripada risk lovers.

Dengan demikian dengan aturan main PPS yang ada, DJP harus tampil memainkan strategi agar Wajib Pajak bersedia mengikuti PPS. Salah satunya dengan memprioritas Kebijakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti PPS. Sebab kunci utama keputusan Wajib Pajak untuk ikut PPS ini adalah tergantung dari probabilitas audit pasca PPS dan probabilitas ditemukannya harta Wajib Pajak oleh DJP.

Keterbukaan Informasi Keuangan juga akan turut mempengaruhi Keputusan Wajib Pajak. Saat ini berdasarkan UU Nomor 9 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, DJP selaku otoritas pajak telah memanfaatkan keterbukaan informasi melalui Atomatic Excange of Information (AEoI). Jadi, kemungkinan untuk menemukan harta yang disembunyikan oleh Wajib Pajak semakin besar. Apalagi dengan pemberlakuan integrasi NIK menjadi NPWP akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan perpajakan.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa Kebijakan Tax Amnesty tidak akan berlanjut lagi pada jilid berikutnya. Jika Wajib Pajak menganggap bahwa Tax Amnesty serupa akan dilaksanakan lagi di waktu yang akan datang, maka bukan hal yang mustahil mereka akan memutuskan ikut PPS tapi setelah itu akan kembali mengemplang pajak. Jadi keberhasilan PPS tidak hanya diukur pada seberapa banyak Wajib Pajak yang ikut Tax Amnesty dan bukan pula seberapa besar harta yang diungkap, tapi bagaimana perilaku kepatuhan wajib pajak menjadi lebih baik pasca mengikuti PPS.

Sumber : Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only