Problematika Pemungutan Pajak Digital

Pada opini yang bertajuk Pemotongan & Pemungutan Pajak UU HPP yang diterbitkan di Harian KONTAN pada 28 Oktober 2021, penulis menyimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 32A Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan perubahan pada Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dapat berjalan efektif apabila kriteria pemotong dan pemungut pajak diperjelas.

Selain itu kepada pemotong dan pemungut pajak diberikan insentif sebagai bentuk kompensasi biaya kepatuhan yang timbul dari tugas tambahan di luar kewajiban perpajakan untuk dirinya sendiri, serta kewajiban untuk memotong pajak. Misalnya, memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan 23, maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Penelaahan lebih lanjut mengenai kewajiban yang diatur pada Pasal 32A UU KUP ternyata memunculkan permasalahan konseptual dan praktis yang perlu diantisipasi. Persoalan tersebut adalah, pertama, secara konseptual, UU KUP setelah terbitnya UU HPP masih menganut self assessment system. Sistem ini mewajibkan setiap orang yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk, antara lain, mendaftarkan diri sebagai wajib pajak (WP), melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), dan menyetorkan pajak terutang.

Penunjukan pihak-pihak tertentu sebagai pemungut pajak akan melemahkan self assessment system yang dianut. Sebab, kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak oleh seorang wajib pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP), misalnya pelaku usaha yang memperoleh laba usaha pada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, justru dialihkan kepada pihak lain.

Kedua, kewajiban pemungutan pajak Pasal 32A UU KUP bertentangan dengan paradigma level playing field dalam pemungutan pajak. Penunjukkan PPMSE tertentu sebagai pemungut pajak justru berpotensi melanggengkan playing field yang tidak setara antara sejumlah platform yang sudah ada.

Pengenaan kewajiban pemungutan PPN terhadap PPMSE luar negeri pada tahun 2020 seharusnya diikuti dengan penguatan self assessment system. Penguatan tersebut dilakukan melalui perluasan ruang lingkup PKP hingga mencakup pedagang kecil yang memasarkan barangnya melalui PPMSE dalam negeri.

Persoalan ini juga disorot oleh sejumlah kalangan. Bahkan, studi International Monetary Fund (IMF) yang berjudul Digitalization and Taxation in Asia (2021) menyatakan bahwa penunjukan pemungut PPN yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia justru menciptakan distorsi antara pengusaha yang terkena kewajiban memungut dan tidak, alih-alih menciptakan kesetaraan di antara mereka.

Ketiga, secara praktis, sebagai perantara dalam transaksi antara pelaku usaha dan pembeli dalam layanannya, PPMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN atas transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui platformnya, sejatinya tidak memiliki visibilitas terhadap status perpajakan dari para pengguna platform tersebut. Sebab hal tersebut merupakan kewenangan fiskus.

Secara normatif, batasan pengusaha kecil dalam UU PPN masih berlaku. Pelaku usaha yang menjadi pengguna layanan PPMSE belum tentu telah memenuhi syarat sebagai PKP, dan seseorang yang bukan PKP tidak seharusnya memungut PPN.

Demikian pula dengan PPh. Seseorang yang tidak memenuhi syarat objektif sebagai wajib pajak, yaitu orang pribadi yang memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), juga tidak seharusnya memungut PPh. Selain itu, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 500 juta per tahun, tidak wajib membayar PPh, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) pasca perubahan pada UU HPP.

Hapus ambang batas

Keempat, pengenaan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak terhadap PPSME disinyalir akan berdampak terhadap tugas Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk mendukung program digitalisasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Padahal pemerintah sedang berupaya menjalankan program dukungan UMKM melalui digitalisasi pemasaran UMKM.

Pandemi Covid-19 menguatkan peranan digitalisasi dalam menjaga UMKM sebagai tulang punggung perekonomian negara. Lagi pula, adanya peralihan pola konsumsi barang dan jasa dari media luar jaringan ke media dalam jaringan menjadi momentum untuk mengakselerasi transformasi digital UMKM.

Sebagai gambaran, sampai dengan Mei 2021, terdapat 13,5 juta UMKM yang sudah masuk program digitalisasi. Jumlah tersebut sekitar 21% dari target 30 juta UMKM terdigitalisasi pada 2024 (kemenkopukm.go.id, 2021).

Untuk mengantisipasi sejumlah permasalahan yang berkenaan dengan pemungutan pajak digital, ada dua langkah yang perlu diambil oleh pemerintah. Pertama, ketentuan Pasal 32A UU KUP perlu diberlakukan secara bertahap.

Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menghapus ketentuan mengenai ambang batas nilai omzet yang harus dipenuhi untuk dapat dikukuhkan sebagai PKP. Dengan demikian, semua penjual pada PMSE merupakan PKP.

Demikian pula dengan ketentuan pengecualian omzet Rp 500 juta dari penghasilan kena pajak. Namun demikian, ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menjadi disinsentif bagi upaya digitalisasi UMKM.

Selain itu, level playing field perlu diciptakan antara berbagai platform elektronik yang digunakan oleh penjual. Artinya, kewajiban pemungutan pajak juga harus diterapkan bagi, misalnya, retail online, platform digital pesan instan, media sosial, maupun agregator.

Langkah kedua, pemerintah perlu menguatkan self assessment system bagi penjual. Pada akhirnya, wajib pajak sesungguhnya dalam transaksi jual beli pada platform Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) adalah penjual yang memang menggunakan layanan PMSE, bukan PPMSE itu sendiri.

Oleh karena itu, alih-alih mengenakan kewajiban pemungutan pajak kepada PPMSE, pemerintah perlu memperluas literasi perpajakan ke seluruh merchant pada PPMSE. Upaya ini juga beririsan pula dengan kegiatan business development service yang telah dijalankan oleh otoritas pajak selama beberapa tahun terakhir.

Selain itu, dalam rangka menciptakan level playing field , upaya penegakan hukum juga sangat penting. Penegakan hukum ini seyogyanya dilakukan terhadap para pihak yang tidak menjalankan kewajiban self assessment-nya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Sumber : Harian Kontan Senin 21 Maret 2022 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only