Anggota DPR: Kenaikan PPN akan Menambah Tekanan Inflasi dan Menurunkan Daya Beli Masyarakat

JAKARTA – Pemerintah diminta meninjau ulang penetapan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022 menjadi 11 persen, yang tertuang dalam Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Anggota Komisi XI DPR Marwan Cik Asan mengatakan, PPN merupakan pajak yang akan dibebankan kepada konsumen akhir sebagai pengguna barang maupun jasa, sehingga perlu dipertimbangkan momentum yang tepat untuk pelaksanaan kenaikan tarif PNN. 

Apalagi, sejak awal 2022 masyarakat dihadapi gejolak kenaikan harga pangan  di mulai dari minyak goreng, kedelai, daging , LPG, dan barang pokok pangan lainnya.

“Dengan menaikan tarif PPN disaat harga sebagian kebutuhan pokok meningkat, akan memberikan efek ganda kenaikan harga bagi masyarakat. Kenaikan tarif PPN 1 April 2022 akan bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan yang dilanjutkan dengan perayaan Idul Fitri,” kata Marwan, Senin (28/3/2022).

Berdasarkan pengalaman empiris, kata Marwan, setiap memasuki bulan Ramadan akan terjadi lonjakan harga dihampir semua kebutuhan masyarakat, dengan penambahan tarif PPN maka harga barang akan meningkat lebih tinggi lagi.

“Menaikkan PPN di tengah pemulihan ekonomi juga kurang tepat. Apalagi saat ini inflasi dalam trend meningkat. Kenaikan PPN akan menambah tekanan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” ujar politikus Demokrat itu. 

Ia menyebut, saat ini sekitar 75 persen pertumbuhan ekonomi dikontribusikan oleh konsumsi masyarakat, sehingga menaikkan tarif PPN akan kontra produktif dengan usaha pemerintah dalam pencapaian pertumbuhan 2022 sebesar 5,2 persen.

“Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah perlu lebih arif dan bijaksana dalam menetapkan waktu berlakunya kenaikan tarif PPN,” ucapnya. 

Lebih lanjut Marwan mengatakan, untuk melaksanakan penundaan kenaikan tarit PPN, pemerintah dapat menggunakan dasar hukum UU HPP pasal 7 ayat (3) yang menyatakan tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

“Artinya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi,” katanya. 

Penundaan tersebut, dinilai Marwan memang akan memberikan konsekuensi berkurangnya potensi penerimaan pemerintah, yang diproyeksikan dengan kenaikan tarif PPN akan menambah penerimaan pajak sekitar Rp 41 triliun.

“Penundaan penetapan PPN juga akan memberikan konsekuensi melebarnya defiisit APBN. Namun pemerintah dapat mengefektifkan penerimaan pajak dari  hasil pelaksanaan program pengampunan sukarela wajib pajak yang mulai berlaku 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022,” paparnya.

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only