Saham Batubara Dibayangi Pajak Baru

JAKARTA. Aturan baru terkait pungutan di sektor batubara berpotensi menjadi sentimen negatif bagi perusahaan batubara. Dalam Peraturan Pemerintah No 15/2022, tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) produksi batubara dihitung secara progresif, mengikuti besaran harga batubara acuan (HBA).

Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan mengatakan, beleid ini dapat menjadi sentimen negatif terbatas bagi emiten batubara. Bila HBA naik, otomatis setoran ke pemerintah akan naik.

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menyebut, pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebenarnya terbilang wajar di tengah kenaikan harga batubara. “Tarif progresifnya mentok sampai HBA sebesar US$ 100 per ton, sedangkan HBA saat ini sudah jauh di atas itu,” terang Teguh , Minggu (17/4).

Jadi, dampaknya bisa terasa minimal jika HBA tetap berada di level tinggi seperti saat ini. Pada April 2022, HBA ada di US$ 288,40 per ton. Artinya, tarif yang dikenakan ialah tarif atas untuk HBA US$ 100 per ton sebesar 28%. Jika HBA kembali naik lebih tinggi, tarif pajak akan tetap flat di level 28%.

Hanya saja, Teguh menilai berita ini bisa berdampak negatif bagi saham-saham batubara. Ini bisa terjadi karena pelaku pasar tidak mencermati rincian aturan kenaikan tarif progresif. “Kesimpangsiuran bisa berdampak negatif, terutama karena kenaikan saham batubara sudah tinggi,” sambung Teguh.

Felix juga menilai beleid ini akan menaikkan beban pembayaran pajak jangka pendek para perusahaan batubara. “Tapi dengan tingginya HBA saat ini dibanding beberapa periode sebelumnya, emiten batubara tetap punya outlook yang positif,” ujarnya.

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menilai, aturan baru ini bisa berdampak pada margin laba perusahaan batubara yang saat ini rata-rata di 30% untuk margin laba operasional dan 20% untuk margin laba bersih. Tapi tekanan tidak signifikan karena harga batubara yang tinggi saat ini.

Pelaku usaha mengaku siap mengikuti ketentuan baru ini. “Pada intinya kami menghormati peraturan dan kebijakan dari pemerintah,” kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Minggu (17/4).

Secara valuasi, Teguh menilai saham-saham batubara masih murah, bahkan banyak yang masih di bawah harga 2018. Dia mencontohkan saham PTBA menyentuh level Rp 4.500 pada 2018, dengan laba bersih Rp 5 triliun.

Saat ini, harga saham PTBA masih di Rp 3.770, namun laba bersih PTBA sudah melonjak hampir Rp 8 triliun. Teguh menyarankan investor melakukan buy on weakness terhadap saham batubara. Ada kemungkinan harga terkoreksi sesaat akibat beleid baru ini.

Praska merekomendasikan hold bagi pelaku pasar yang sudah membeli saham emiten batubara, sembari menunggu hingga rilis kinerja emiten kuartal dua untuk mengevaluasi dampak implementasi pajak ekspor batubara terhadap kinerja keuangan.

“Namun bagi investor yang belum punya, baiknya menerapkan buy on weakness dan mencari emiten yang mempunyai valuasi lebih murah, karena hampir semua harga saham-saham emiten batubara sudah melaju kencang,” papar Praska.

Sumber : Harian Kontan Senin 18 April 2022 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only