Ekonom menyayangkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 11% berlaku di tengah ekonomi yang baru mulai bergerak usai dihantam pandemi COVID-19. Tarif baru itu sudah berlaku sejak 1 April 2022.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manap Pulungan mengatakan kenaikan tarif PPN saling terkait dan tidak bisa dibatasi dampaknya hanya pada satu sektor atau kalangan tertentu. Walaupun ada beberapa barang yang dibebaskan dari PPN.
“Pemerintah melihatnya menaikan PPN saat ini tepat karena tujuannya untuk menambal APBN. Kalau kita sebagai rakyat mau gimana lagi, kita hanya menerima tapi memang sangat disayangkan ini ekonomi kan baru mulai bergerak,” katanya saat dihubungi, Senin (18/4/2022).
“Kita sudah terkena pandemi 2 tahun lebih, banyak yang di-PHK, banyak aktivitas disetop, orang tidak berpendapatan tiba-tiba PPN naik,” tambahnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Dia sangat menyayangkan kenaikan tarif PPN jadi 11% diberlakukan saat ini.
“Dengan kenaikan harga barang sedemikian besar, kenaikan PPN ini seharusnya ditunda,” ujarnya.
Anthony membeberkan dampak inflasi yang naik tak terkendali dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pasalnya ekonomi Indonesia yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga akan berpengaruh karena terjadi penurunan daya beli.
Dari sektor riil, kenaikan inflasi akan menyebabkan harga-harga barang meningkat karena biaya produksi akan naik. Bagi produsen yang tidak berani menaikkan harga dan memilih mengurangi margin keuntungan, nasib karyawan bisa terancam hingga merembet ke peningkatan pengangguran dan jumlah kemiskinan.
“PPN naik artinya daya beli turun, yang sebelumnya bisa beli 10 buah sekarang hanya bisa dapat 9 buah. Artinya permintaan akan turun, menghambat pertumbuhan ekonomi karena itu perusahaan akan mengurangi jumlah produksi dan juga jumlah pegawai (PHK). Bagi orang miskin artinya mereka jadi tambah miskin,” tandasnya.
Sumber: finance.detik.com
Leave a Reply