Semua Mulai Khawatir, Separah Apa Sih Inflasi Indonesia?

Jakarta, Kenaikan harga barang dan jasa dikhawatirkan menghambat laju pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan fiskal dan moneter diharapkan bisa bersinergi alias kompak dalam merespons kenaikan inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi konsumen pada April 2022 mencapai 3,47% secara tahunan (year on year/yoy), meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 2,64% (yoy). Secara bulanan inflasi pada April 2022 sebesar 0,95%.

Lonjakan inflasi di dalam negeri mengalami tekanan dari dalam negeri dan luar negeri. Dari luar negeri berasal dari kenaikan tingkat suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat/AS (The Fed) dan ketidakpastian konflik Rusia-Ukraina.

Risiko meningkatnya inflasi juga didukung oleh tingginya permintaan konsumen, sejalan dengan pelonggaran mobilitas masyarakat, momentum Ramadan dan Idul Fitri, serta penghapusan kendali harga pada beberapa komoditas pangan.

Kemudian, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% memberi efek terhadap inflasi, meskipun cukup terbatas.

Rambatan gejolak eksternal maupun internal harus diantisipasi dengan tepat oleh otoritas fiskal dan moneter di Indonesia. Sejumlah pengamat ekonomi menyarankan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus memantau secara ketat seluruh ancaman inflasi pada bulan-bulan mendatang.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan peningkatan inflasi bulan lalu didorong oleh seluruh komponen inflasi, baik inflasi inti, harga bergejolak, dan harga yang diatur pemerintah (administered price).

Josua memandang, inflasi pada bulan Mei diperkirakan akan cenderung landai dibandingkan inflasi April, mengingat dampak kenaikan harga Pertamax akan hilang.

Kenaikan harga minyak goreng pun tidak akan setinggi bulan April dan beberapa harga komoditas pangan yang juga akan mulai melandai pasca Lebaran.

Ke depannya, inflasi domestik berpotensi menembus level 4% apabila pemerintah melakukan penyesuaian terhadap beberapa harga barang diatur Pemerintah seperti harga BBM Pertalite, LPG 3kg dan tarif listrik.

“Oleh sebab itu, pemerintah dan BI perlu memperkuat koordinasi dan komunikasi terutama terkait dengan rencana penyesuaian harga diatur pemerintah, sehingga BI dapat menyiapkan bauran kebijakan moneter dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi tahun ini,” jelas Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/5/2022).

Pemerintah dinilai perlu mendorong stabilisasi harga pangan dengan memastikan pasokannya terutama harga minyak goreng yang diupayakan oleh pemerintah dengan pelarangan ekspor CPO. Dengan stabilisasi inflasi harga pangan, diharapkan tekanan inflasi tidak meningkat signifikan dan ekspektasi inflasi dapat terjangkar.

Dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi, BI diperkirakan akan mempertimbangkan untuk menormalisasi suku bunga kebijakannya dengan menaikan suku bunga BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50-75 basis poin pada Semester II-2022.

Meskipun BI melakukan normalisasi kebijakan moneternya, diperkirakan dapat menjangkar ekspektasi inflasi pelaku ekonomi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sehingga tetap akan mendukung momentum pemulihan ekonomi Indonesia pada 2022 ini.

Kepala Ekonom BCA David Sumual juga memandang, besaran dan timing dari respons kebijakan moneter akan tergantung pada faktor-faktor penyebab inflasi.

Kenaikan suku bunga acuan dari level sekarang 3,5%, kata David akan memberikan jangkar terhadap inflasi agar tidak semakin liar. Tingginya ketidakpastian global memungkinkan inflasi tinggi masih akan terus berlanjut pasca Lebaran.

“Ini untuk menjangkar ekspektasi agar tidak liar,” ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Langkah BI yang akomodatif saat ini, juga dipandang oleh Ekonom Bank Danamon Irman Faiz masih cukup untuk saat ini, namun jika terdapat kebijakan-kebijakan lain yang menyebabkan tekanan dari sisi supply yang meningkat, seperti kenaikan harga Pertalite, Gas 3 Kg, tarif listrik dan sebagainya, BI perlu untuk melakukan penyesuaian suku bunga.

“Agar inflasi tidak overheating sehingga mengganggu pemulihan konsumsi domestik. Kami melihat jika ada penyesuaian pada kebijakan harga-harga yang saya sebutkan tadi, inflasi bisa di atas batas atas target BI,” jelas Irman.

Ekonom Senior Faisal Basri juga berpandangan, inflasi bisa diredam oleh pemerintah, karena beberapa komoditas masih diatur harganya, sehingga bisa diintervensi negara.

Kendati demikian, apabila tidak diredam segera, inflasi berdasarkan perkiraan Faisal akan terkerek melebihi 3% yang sudah melebihi target pemerintah dalam kisaran 2% – 4%. “Bahkan di bulan-bulan berikutnya bisa mencapai di atas 5%,” ujarnya.

“Itu ada ongkosnya dalam bentuk subsidi, terutama subsidi Pertalite, Solar yang bisa mencapai Rp 8.000 per liter. Walaupun ini akan berpengaruh ke ongkos dalam bentuk subsidi yang kian menggelembung,” tutur Faisal lagi.

Sumber: CNBCIndonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only