Suku Bunga Berpotensi Naik di Semester Kedua, Begini Prospek Sektor Properti

Emiten properti dihadapkan pada momentum sulit pada semester kedua tahun ini. Salah satunya adalah proyeksi kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI).

Fitch Rating dalam laporannya juga memproyeksikan arus kas operasi pengembang perumahan akan turun ke level moderat karena kenaikan bunga, perlambatan penjualan, dan ekspansi land bank. Kenaikan suku bunga juga dapat merugikan marketing sales dengan mengurangi permintaan kredit yang mendanai sekitar 50% dari marketing sales.

Insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) juga dinilai tidak akan terlalu berdampak. Sebab, besarannya dikurangi 50% dari tahun 2021, sehingga PPN DTP menjadi sebesar 50% untuk pembelian rumah tapak/rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp 2 miliar.

Margin EBITDA pengembang perumahan diperkirakan turun sekitar 100-200 basis poin pada tahun 2022 karena kenaikan biaya konstruksi. Namun, banyak perusahaan memiliki penyangga margin yang sehat sekitar 35%-40% untuk menyerap dampak tersebut tanpa pelemahan kualitas kredit secara material.

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus juga menilai bahwa saat suku bunga BI naik maka dampaknya akan cukup terasa. Apalagi jika diperhatikan, sektor properti merupakan sektor yang belum pulih sepenuhnya.

Menurut Nico, ketika sektor lain mulai menikmati pemulihan, sektor properti yang mulai mendapat angin harus rela bersaing dengan kenaikan komoditas dan energi yang mengangkat harga. Sehingga, masyarakat akan lebih memilih kebutuhan dengan prioritas paling utama. Walau begitu, dia berpendapat bukan berarti meskipun pemulihan berjalan lambat maka pasar properti akan terpuruk.

“Pasalnya saat ini para pengembang juga cerdik dalam melihat kesempatan, dimana saat ini pasar perumahan dengan harga di bawah Rp 1 miliar menjadi salah satu target utama pengembang,” ujar Nico kepada Kontan.co.id, Selasa (7/6).

Dengan demikian, Nico masih berpandangan bahwa prospek emiten properti dapat dikatakan positif, meskipun momentumnya kurang baik. Di tengah pemulihan ekonomi, ketidakpastian global terus bertambah sehingga memberikan risiko bagi pemulihan ekonomi.

“Pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan pengendalian Covid-19 akan menjadi kunci penting untuk mendorong optimis di sisi masyarakat dan daya beli sehingga masyarakat merasa yakin bahwa pemulihan ekonomi akan mendorong kualitas hidup,” imbuh Nico.

Equity Analyst Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora juga berpandangan bahwa potensi kenaikan suku bunga BI akan memberikan sentimen negatif untuk sektor properti. Kenaikan suku bunga acuan berpeluang menaikkan bunga KPR.

Apabila bunga KPR naik maka potensi pembelian properti oleh konsumen berkurang. “Hal ini berpeluang menurunkan laba emiten properti,” ujar Andhika.

Andhika melihat bahwa saham properti masih menarik untuk jangka panjang karena kenaikan belum tinggi. Oleh sebab itu, dia berpandangan investor bisa melakukan buy on weakness terhadap saham-saham properti untuk jangka panjang.

Nico menambahkan, untuk masuk ke saham properti investor juga sebaiknya memperhatikan proyek yang dimiliki emiten dan proyek yang memberikan pendapatan berulang bagi perusahaan tersebut. “Karena tentu akan membantu menjaga cash flow secara jangka pendek untuk menutupi beban perusahaan,” ujar dia.

Nico pun menjagokan saham BSDE dan CTRA dengan target harga keduanya di Rp 1.400 per saham. Sementara Andhika menilai saham-saham yang menarik secara teknikal, yakni ASRI dengan rekomendasi buy on weakness yang memiliki support di level Rp 149 dengan target penguatan Rp 200.

Selain itu ada saham SMRA dengan support di Rp 635 dan target penguatan ke Rp 750, serta CTRA dengan support di Rp 950 dengan target penguatan Rp 1.100 per saham.

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only