Asosiasi Blockchain: Penerapan Pajak Kripto Terlalu Dini

Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) menilai penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh) pada aset cryptocurrency atawa pajak kripto masih terlalu dini.

Chairwoman ABI Asih Karnengsih mengungkapkan calon pedagang fisik aset kripto harus mempersiapkan proses teknis pemotongan pajak. Kemudian, melakukan sosialisasi kepada pelanggan aset kripto (traders/investor) yang akan menjadi pembayar pajak.

Pengenaan PPN yang tertuang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto juga dianggap masih butuh banyak pertimbangan.

“Kekhawatiran kami saat ini ialah tarif pajak PPh dan PPN yang harus diperkuat dasar hukumnya dan juga memperhatikan kemampuan dalam mempertahankan daya saing pelaku usaha dalam negeri,” ujarnya dalam pernyataannya, Kamis (30/6).

Asih mengatakan pengenaan tarif pajak aset kripto harus lebih diperjelas karena Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat dijadikan subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka.

Sementara belum terdapat dasar peraturan yang jelas atas pengenaan tarif PPN pada jenis barang Komoditi Berjangka dengan klasifikasi aset tidak berwujud seperti aset kripto. Maka dari itu, aset kripto tidak dapat diperlakukan sama dengan komoditas berjangka lainnya.

Hal lainnya yang menjadi perhatian ABI adalah terkait tarif pajak penghasilan. Sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang sudah diperbaiki dan/atau diperbaharui mengenai tarif PPh secara khusus pada Komoditas Berjangka.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, tarif PPh pada Komoditas Berjangka dikenakan sebesar 2,5 persen.

Namun, peraturan yang seharusnya dijadikan pertimbangan dalam pengenaan tarif PPh aset kripto ini telah dicabut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2011.

Di sisi lain, tarif pajak dianggap dapat mengurangi daya kompetitif bagi pelaku usaha aset kripto dalam negeri, sehingga dikhawatirkan calon pelanggan dalam negeri akan berpaling dan memilih bertransaksi menggunakan pedagang fisik aset kripto luar negeri.

“Investasi keluar (capital flow) yang tidak diawasi oleh Bappebti dapat berdampak terhadap pertumbuhan industri aset kripto domestik, khususnya terhadap pelaku usaha yang sudah terdaftar dan patuh terhadap peraturan Bappebti,” tulis pernyataan ABI.

ABI mengatakan akan sangat disayangkan apabila perkembangan pesat perdagangan aset kripto di Indonesia terhambat oleh penerapan pajak. Karena itu, ia tengah menyiapkan kajian mendalam terkait pajak aset kripto agar dapat lebih dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto berlaku mulai 1 Mei 2022.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengungkapkan penerapan pajak dilakukan karena kripto dianggap sebagai komoditas.

Ia menjelaskan kripto di Indonesia memang tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan sebuah komoditas. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) turut menegaskan kripto merupakan komoditas.

“Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” kata Neilmaldrin melalui keterangan resmi, Rabu (13/4).

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only