Mengenal Isitlah Wajib Pajak OTTP, Pengertian, Unsur dan Skemanya

Pajak Penghasilan atau PPh merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar. Perpajakan atas pendapatan/penghasilan ini dikenakan terhadap wajib orang pribadi dan badan. Terkait PPh, pemerintah memberikan sejumlah kemudahan. Salah satu di antaranya adalah pembayaran secara angsuran melalui PPh Pasal 25.

PPh Pasal 25 merupakan pembayaran pajak penghasilan secara angsuran dalam tahun pajak berjalan, yang harus dibayar sendiri, baik oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap bulan setelah dikurangi dengan kredit pajak.

Pembayaran pajak secara diangsur ini, memudahkan wajib pajak dibandingkan membayar pajak sekaligus pada akhir tahun. Pada prinsipnya, besaran angsuran bulanan yang dibayar adalah sebesar PPh yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) PPh tahun sebelumnya, dengan dikurangi kredit pajak.

Namun, Pasal 25 Ayat (7) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atau UU PPh, memperkenankan Menteri Keuangan menetapkan perhitungan besaran angsuran pajak bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu atau biasa disebut wajib pajak OPPT.

Pengertian Wajib Pajak OPPT

Berdasarkan penjelasan Pasal 25 Ayat (7) huruf c UU PPh, wajib pajak OPPT adalah wajib pajak orang pribadi yang memiliki satu atau lebih tempat usaha. Ketentuan teknis tentang wajib pajak OPPT ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.03/2018.

Berlakunya PMK 215/PMK.03/2018 ini mencabut PMK 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan (s.t.d.d.) PMK 208/PMK.03/2009. Mengacu Pasal 1 Ayat (4) PMK 215/PMK.03/2018, definisi wajib pajak OTTP adalah:

Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada satu atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak“.

Apabila dibandingkan dengan aturan sebelumnya, definisi yang tertera dalam PMK 215/PMK.03/2018 ini terperinci. Sebelumnya, pada PMK 255/PMK.03/2008 s.t.d.d. PMK 208/PMK.03/2009, definisi wajib pajak OTTP adalah:

Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili“.

Unsur Wajib Pajak OTTP

Mengutip pajakku.com, berdasarkan definisi mengenai wajib pajak OTTP, terdapat tiga unsur yang harus ada, yakni wajib pajak orang pribadi, pedagang pengecer, dan memiliki satu atau beberapa tempat usaha.

Wajib pajak orang pribadi adalah, wajib pajak yang terkena pada orang yang memiliki dua syarat. Pertama, syarat subjektif yaitu lahir dan hidup. Kedua, syarat objektif yaitu memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Selanjutnya, yang dimaksud pedagang eceran adalah orang pribadi yang menjalankan penjualan secara grosir, ataupun eceran, dan orang pribadi yang melakukan penyerahan jasa melalui suatu tempat usaha.

Tempat usaha sendiri adalah sesuatu yang sifatnya menetap, baik itu di ruko, mall, rumah, maupun bisnis secara daring (online). Hal ini dikarenakan yang dilihat bukanlah cara pemasarannya.

Mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tujuan dari pengenaan PPh Pasal 25 ini untuk wajib pajak OPPT adalah, demi simplifikasi. Melalui PPh Pasal 25, wajib pajak OTTP tidak perlu mengumpulkan omzet, penghasilan neto, serta penghitungan pajak dalam penentuan PPh Pasal 25.

Wajib pajak cukup membayar sejumlah tarif yang ditentukan per bulan dari masing-masing tempat usaha. Namun, bagi wajib pajak yang telah mengaplikasikan ketentuan PPh Final berdasarkan PP 23/2018 maka kewajiban pembayaran PPh 25 bagi wajib pajak OPPT ditiadakan.

Skema dan Ketentuan Wajib Pajak OTTP

DJP menyatakan, bahwa wajib pajak OPPT dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar setahun yang masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat memilih memanfaatkan skema khusus pajak final 0,5%, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2018, atau atau memilih skema pajak umum (non-final).

Jika UMKM memilih skema umum atau non-final, maka yang berlaku adalah ketentuan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75%. Hal yang sama juga berlaku bagi wajib pajak OPPT dengan omzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun yang masuk kategori non-UMKM, wajib membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75%.

Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 25 Ayat (7) huruf c UU PPh, dan Pasal 7 Ayat (1) PMK Nomor 215/PMK.03/2018. Dalam dua aturan ini, disebutkan bahwa angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak OPPT ditetapkan sejumlah 0,75%. Pembayarannya ditetapkan dari jumlah peredaran bruto tiap bulan dari masing-masing tempat usaha, yang berbeda dengan tempat tinggal wajib pajak.

Sebagai informasi, jika wajib pajak memiliki usaha di tempat tinggalnya dan tidak memilih untuk menggunakan tarif PPh Final, seperti yang tertuang dalam PP 23/2018, maka diwajibkan mendaftarkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) OPPT, di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar.

Aturan mengenai NPWP OTTP ini, telah mengalami perubahan. Pertama, melalui Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-38 tahun 2013. Kedua, melalui Perdirjen Nomor PER-02 tahun 2018. Terakhir, menjadi Perdirjen Pajak Nomor PER-04 tahun 2020.

Berdasarkan perubahan aturan terakhir, yakni Perdirjen Pajak Nomor PER-04 tahun 2020, pengajuan NPWP OTTP jauh lebih mudah. Pasalnya, kini wajib pajak hanya perlu melampirkan NPWP orang pribadi saja.

Sementara, aturan sebelumnya menyebutkan, wajib pajak yang ingin dikukuhkan sebagai wajib pajak OPPT wajib melampirkan dokumen izin kegiatan usaha dan surat pernyataan atas kegiatan usaha.

Perubahan ini dilakukan sebagai bentuk pemberian kepastian hukum, dan peningkatan pelayanan bagi wajib pajak orang pribadi terutama yang memiliki usaha tertentu.

Sumber : katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only