Ekonom Dukung Masa Insentif Pajak Kesehatan Diperpanjang

Keputusan pemerintah untuk kembali memperpanjang insentif pajak kesehatan hingga Desember 2022 dinilai sangat tepat untuk saat ini mengingat jumlah kasus Covid-19 kembali meningkat di Indonesia.

Insentif pajak yang diperpanjang tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.03/2021 yang berakhir pada 30 Juni 2022 melalui penerbitan PMK-113/PMK.03/2022 dan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi berdasarkan PMK-3/PMK.03/2022 yang berakhir pada akhir Juni 2022 melalui penerbitan PMK-114/PMK.03/2022.

Meski langkah pemerintah dinilai tepat, namun Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memperingatkan agar Indonesia ke depannya tak tergantung pada impor.

“Ke depannya harus dibenahi tata kelola sektor kesehatan, jangan tergantung impor. Sekarang ketergantungan impor Indonesia semakin tinggi, hal ini berarti Indonesia menyerahkan nasibnya ke negara tersebut,” kata Esther kepada Bisnis, Minggu 24 Juli 2022.

Esther khawatir jika negara tersebut menaikkan harga, Indonesia mau tidak mau juga harus membayar lebih mahal. Selain itu, Indonesia juga harus menanggung konsekuensinya dengan kelangkaan barang, obat atau alat kesehatan di Indonesia bila negara tersebut menghentikan ekspor ke negara lain.

Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan kebijakan yang efektif pada sistem kesehatan Indonesia, sehingga  ada transparansi ketersediaan obat dari pabrik (produsen), distributor sampai dengan user di rumah sakit, klinik, farmasi, toko obat lainnya.

Di lain sisi Esther memandang Indonesia sebetulnya memiliki potensi untuk memproduksi obat-obatan sendiri mengingat tanaman herbal sebagai bahan baku sangat berlimpah di Indonesia. Namun masalahnya, biaya produksi relatif mahal dan teknologi produksi tersebut tidak dikembangkan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Esther menyarankan agar melakukan kerja sama dengan perusahaan asing atau mengundang investor asing untuk mendirikan pabrik obat di Indonesia.

“Karena banyak mata rantai pasok sektor kesehatan yang putus, misalnya pabrik yang menghasilkan bahan intermediate belum ada di Indonesia,” ungkapnya.

Selain itu, kerja sama tersebut perlu dilakukan selama beberapa tahun sampai Indonesia dapat memproduksi obat-obatan ataupun alat kesehatannya sendiri.

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only