Rasio Pajak di Indonesia Masih Jalan di Tempat

JAKARTA. Rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Padahal, segala jurus telah ditempuh pemerintah untuk mengerek tax ratio yang selama ini masih di bawah 10% terhadap PDB.

Upaya mengerek tax ratio mulai dari menggelar program pengampunan pajak tax amnesty pada 2015, lalu pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan alias Automatic Exchange of Information (AEoI), program revaluasi aset, hingga berbagai upaya ekstensifikasi dan intensifikasi yang digelar Direktorat Jenderal Pajak.

Berdasarkan laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) bertajuk Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022, tax ratio Indonesia pada 2022 sebesar 10,1% terhadap PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata tax ratio negara-negara di Asia Pasifik yang sebesar 19% PDB apalagi rata-rata tax ratio negara-negara anggota OECD yang sebesar 33,5% PDB.

Meski bukan negara satu-satunya dengan tax ratio di bawah rata-rata regional, Indonesia berada di posisi bontot dan hanya mengungguli Bhutan dan Laos dengan tax ratio masing-masing sebesar 8,9% PDB.

Adapun angka tax ratio yang dikeluarkan oleh OECD, memperhitungkan kontribusi jaminan sosial atau iuran jaminan sosial. Bila tidak memasukkan hitungan tersebut maka tax ratio Indonesia pada tahun 2020 hanya sebesar 9,5% terhadap PDB.

Pemerintah mengakui tax ratio Indonesia mengalami tren penurunan. Bahkan, sejak lebih dari satu dekade lalu atau sejak 2011. Menurut Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan (kemkeu) Yon Arsal, hal tersebut disebabkan oleh policy gap dan compliance gap.

Policy gap tersebut lanjutnya, timbul dari pilihan kebijakan yang diambil pemerintah melalui belanja perpanjakan alias tax expenditure. Hal tersebut membuat penerimaan pajak berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum.

Sedangkan compliance gap berarti adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan setoran pajak dan kapasitas pengawasan. Ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor administrasi di Ditjen Pajak.

Pelayanan ditingkatkan

Namun, pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan sejak 2018 lewat berbagai perbaikan sistem, organisasi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan proses bisnis. Teranyar, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diharapkan mampu mengerek tax ratio. “Diharapkan ada pembalikan (tax ratio) pada 2021 dan 2022,” kata Yon, Senin (25/7). Sementara pada tahun depan, tax ratio ditargetkan bisa mencapai 9,3% hingga 10% PDB.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memperkirakan, tax ratio Indonesia masih berkutat di kisaran 10% – 11% terhadap PDB hingga 2025. “Idealnya 15%, tapi belum bisa,” kata Prianto, kemarin.

Ia melihat pemerintah telah menggeser fokus dari kebijakan pajak penghasilan (PPh) ke pajak pertambahan nilai (PPN). Termasuk, menaikkan tarif PPN hingga perluasan objek kena PPN. Namun, “Kesadaran perlu dibangun termasuk trust, sehingga pelayanan pajak harus ditingkatkan,” tambahnya.

Selain itu, ia melihat kondisi global juga menjadi tantangan. Baik itu pandemi Covid-19, lonjakan inflasi, ditambah penguatan dollar Amerika Serikat (AS) yang berpotensi menahan tax ratio Indonesia jangka pendek.

Sumber : Harian Kontan Rabu 27 Juli 2022 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only