Tidak Bebas Pajak, Ini Seluk-beluk JHT

Awal tahun ini, topik Jaminan Hari Tua atau JHT sempat menjadi viral. Ini karena keluarnya aturan mengenai pencairan tabungan hari tua ini, di mana peserta hanya bisa mencairkan bila telah mencapai usia 56 tahun.

Tak lama setelah menjadi viral, aturan baru yang menyatakan pencairan JHT baru bisa dilakukan jika peserta mencapai usia 56 tahun, dibatalkan. Kini, aturan soal dana jaminan hari tua ini, telah kembali ke aturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 tahun 2015.

Apa sebenarnya JHT itu, dan apa saja manfaat yang dapat diberikan program ini, serta seperti apa aspek perpajakan yang menyertainya? Simak ulasan singkat berikut ini.

Pengertian JHT

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Hari Tua, JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

Keberadaan program JHT ini, merupakan pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua. JHT menggunakan sistem tabungan pensiun yang bersifat wajib. Jadi, peserta perlu melakukan iuran setiap bulan.

JHT ini bersifat wajib, di mana setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan pegawainya dalam kepesertaan program JHT Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPSJ) Ketenagakerjaan. Selain itu, setiap orang yang bekerja juga wajib mendaftarkan diri menjadi peserta program JHT.

Adapun, BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Peserta dan Perhitungan JHT

Mengutip laman resmi BPJS Ketenagakerjaan, peserta program JHT terdiri dari dua. Pertama, peserta penerima upah, yakni semua pekerja baik yang bekerja pada perusahaan dan perseorangan. Kemudian, orang asing yang telah bekerja di Indonesia lebih dari enam bulan.

Kedua, peserta bukan penerima upah. Kategori peserta JHT ini, mencakup pemberi kerja, pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan pekerja bukan penerima upah selain pekerja mandiri.

Terkait perhitungannya, untuk peserta JHT dari kategori penerima upah, besaran iuran yang ditetapkan adalah 5,7% dari upah. Dari besaran tersebut, sebesar 2% dibayarkan oleh peserta JHT. Sementara, 3,7% dibayarkan oleh pemberi kerja.

Sebagai contoh, jika upah seseorang tercatat sebesar Rp 5 juta. Maka, besaran iuran yang harus dibayarkan setiap bulan adalah 5,7% dkalikan upah tersebut, yakni Rp 285.000.

Dari besaran iuran tersebut, sebanyak Rp 100.000 dibayarkan oleh peserta (2% x Rp 5 juta). Sementara, sebanyak Rp 185.000 dibayarkan oleh pemberi kerja (3,7% x Rp 5 juta).

Sedangkan, untuk peserta program JHT dari kategori bukan penerima upah, besaran iuran yang harus dibayarkan ditetapkan melalui PP 46/2015. Besaran iuran yang ditetapkan sesuai dengan lapisan penghasilan.

Dalam Lampiran I PP 46/2015, besaran iuran JHT untuk peserta bukan penerima upah ini, dimulai dari lapisan pendapatan hingga Rp 1.099.000 per bulan. Untuk besaran penghasilan ini, iuran JHT yang ditetapkan adalah sebesar Rp 20.000 per bulan.

Manfaat JHT

Hingga kini, masih ada banyak pekerja yang bertanya-tanya terkait ragam manfaat yang bisa mereka raih dari program JHT. Padahal, program tabungan hari tua dari BPJS Ketenagakerjaan ini, sangat bermanfaat bagi setiap orang.

Sejatinya, manfaat dari program JHT adalah sejumlah dana yang akan dikembalikan sebesar iuran yang terkumpul, ditambah dengan hasil pengembangannya. Hasil pengembangan ini, setidaknya sebesar rata-rata bunga deposito counter rate dari bank pemerintah.

Peserta JHT juga tidak perlu menunggu hingga usia 56 tahun untuk bisa memanfaatkan dana yang terkumpul. Berdasarkan aturan yang berlaku, peserta bisa mengambil maksimal 10% dari dana yang terkumpul dari saldo sebagai persiapan usia pensiun. Selain itu, sebanyak 30% dari total saldo dapat diambil untuk uang perumahan.

Namun, patut diingat bahwa manfaat yang bisa diambil ini dapat digunakan apabila masa kepesertaan telah mencapai 10 tahun. Apabila seseorang baru bergabung atau belum 10 tahun bergabung, sama sekali tidak bisa mencairkan. Pengambilan sebagian tersebut, juga hanya dapat dilakukan sekali selama menjadi peserta.

Jika setelah mencapai usia 56 tahun, peserta masih bekerja dan memilih untuk menunda pembayaran, maka JHT dibayarkan saat yang bersangkutan berhenti bekerja.

Kemudian, apabila peserta meninggal dunia, maka manfaat kepesertaan JHT tidak akan hangus. Melainkan akan diberikan kepada ahli waris.

Urutan ahli waris yang berhak atas manfaat JHT tersebut, adalah sebagai berikut:

  • Janda/duda
  • Anak
  • Orang tua, cucu
  • Saudara kandung
  • Mertua
  • Pihak yang ditunjuk dalam wasiat

Apabila peserta JHT meninggal dunia tanpa adanya ahli waris, maka dana JHT yang terkumpul akan dikembalikan ke Balai Harta Peninggalan.

Aspek Perpajakan JHT

Oleh karena JHT berbentuk pemberian dana yang telah dikumpulkan, maka dana ini merupakan objek pajak, yang atas penerimaannya dikenakan pajak penghasilan (PPh).

Ini sesuai dengan definisi penghasilan sebagai objek pajak, yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari dalam maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Aturan teknis perpajakan untuk JHT tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.

Mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, dikenakan PPh Pasal 21 yang bersifat final.

Terkait uang manfaat JHT, besaran tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan, tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010. Dalam pasal tersebut, tarif PPh Pasal 21 untuk JHT dibagi menjadi dua, sesuai penghasilan bruto (manfaat JHT) yang diterima.

Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah sebesar 0%. Sementara, untuk penghasilan bruto di atas Rp 50 juta, tarif PPh Pasal 21 ditetapkan sebesar 5%.

Patut diingat, besaran tarif PPh Pasal 21 yang bersifat final ini, hanya dikenakan apabila manfaat JHT dibayarkan sekaligus. Dalam hal pencairan manfaat JHT ini, peserta bisa memilih agar manfaat yang terkumpul dibayarkan bertahap.

Jika manfaat JHT dibayarkan secara bertahap, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang bersifat final hanya berlaku hingga tahun kedua.

Untuk manfaat JHT yang dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan mengacu pada Pasal 17 UU PPh, yang telah diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam Pasal 17 UU HPP, tarif PPh Pasal 21 yang ditentukan adalah sebagai berikut:

  • Tarif 5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp 60 juta.
  • Tarif 15% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta.
  • Tarif 25% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta.
  • Tarif 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar.
  • Tarif 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.

Sumber : katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only