Dunia Kacau Balau, Jokowi Sempat Melawan Cukup Lama

Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat melawan cukup lama saat dunia kacau balau. Kepala negara lain bahkan menyerah lebih dulu dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Puncak permasalahan terjadi ketika perang Rusia dan Ukraina meletus pada akhir Februari lalu. Beberapa bulan sebelumnya harga minyak dunia sudah merangkak naik, seiring dengan membaiknya perekonomian banyak negara selepas pandemi covid-19.

Namun, perang tersebut membuat harga minyak melambung tinggi ke angkasa. Patut diketahui, Rusia adalah salah satu pemasok minyak dan gas terbesar dunia. Amerika Serikat (AS) dan teman-teman yang mengenakan sanksi ke Rusia tentu juga memberikan andil.

Harga minyak dunia melesat jauh. Dari yang tadinya berada di level US$ 30 – 50 per barel menjadi US$ 125 per barel.

Semua negara panik. Apalagi mengingat situasi juga belum pulih dari pandemi covid-19. Masih ada luka memar yang harus dibereskan, terutama dari sisi fiskal. Negara dengan anggaran terbatas, mau tidak mau harus menaikkan harga BBM, membiarkan beban lonjakan harga minyak dunia dirasakan masyarakat.

Opsi yang lain tadinya mungkin jadi pilihan. Seperti memberikan subsidi lewat tambahan utang. Akan tetapi banyak negara sudah alami penumpukan utang karena pandemi. Belum lagi, beberapa negara maju memperketat kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga acuan. Sehingga penarikan utang butuh biaya sangat mahal.

Sebut saja Argentina, Brasil, Meksiko, Sri Lanka, Pakistan dan beberapa negara di Afrika lainnya. Kini alami lonjakan inflasi dan berpotensi besar atau sudah terjerat krisis dan bangkrut.

Jokowi Sempat Melawan Arus Dunia

Indonesia bisa saja bernasib sama seperti negara tersebut. Tapi tak semua efek perang berujung negatif. Selain minyak, harga komoditas juga alami kenaikan drastis. Batu bara, nikel, bauksit, tembaga hingga minyak kelapa sawit harganya melonjak dan memberikan keuntungan bagi Indonesia bak durian runtuh.

Nusantara yang kaya raya akan komoditas tersebut tentu tidak ketinggalan meraup cuan. Tahun ini diperkirakan pemerintah meraup penerimaan, baik dari pajak dan non pajak yang bersumber dari komoditas sebesar Rp 420 triliun.

Jokowi akhirnya melawan arus dunia dalam hal kenaikan harga BBM. Dirinya tak mau membebani masyarakat yang baru saja pulih dari pandemi covid-19.

Dana itulah kemudian digeser ke masyarakat lewat pemberian subsidi energi. Meliputi BBM, listrik dan gas LPG 3 kg. Total yang dikeluarkan adalah Rp 502 triliun, terbagi atas pembayaran subsidi dan kompensasi terhadap BUMN yang telah menahan harga energi dua tahun sebelumnya.

“Saya sebetulnya ingin harga BBM dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN tetapi anggaran subsidi dan kompensasi tahun 2022 telah meningkat 3 kali lipat,” jelas Jokowi akhir pekan lalu.

Subsidi masih dimungkinkan membengkak setelah melihat harga minyak dunia tak kunjung turun drastis. Ada penurunan tapi tidak signifikan. Dalam asumsi pemerintah, harga minyak dunia rata-rata setahun adalah US$ 95 per barel dan kurs Rp 14.300 per dolar AS.

Konsumsi BBM di dalam negeri juga meningkat drastis, menjadi 29 juta KL. Sehingga pemerintah memperkirakan subsidi bisa membengkak sampai dengan Rp 698 triliun.

“Masyarakat saat ini bertanya karena harga minyak dalam sebulan terakhir mengalami penurunan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani indrawati.

“Kami terus mengalami perhitungan dengan harga ICP yang turun ke US$ 90 sekalipun maka subsidi masih akan besar,” terangnya.

Pemerintah melihat ada ketidakadilan. Penerima subsidi BBM terbesar dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Bahkan Sri Mulyani melihat kesenjangan orang dan miskin bisa semakin melebar.

Berkah Perlawanan Jokowi

Perlawanan Jokowi masih memberikan berkah bagi Indonesia meskipun akhirnya menyerah. Lihat saja pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2022, berhasil mencapai 5,44%. Inflasi pun masih terjaga di bawah level 5%. Negara lain sudah jatuh ke jurang resesi.

Bayangkan apabila Jokowi mengambil kebijakan serupa seperti negara lain, mungkin masyarakat Indonesia tak akan merasakan indahnya Idul Fitri. Banyak orang akan berpikir dua, tiga atau empat kali untuk memutuskan mudik ke kampung halaman.

Kini harga BBM naik saat inflasi mulai mereda. Akan tetapi dampaknya diperkirakan terbatas. 

“Kita akan lihat kenaikan harga bbm akan mendorong inflasi September dan Oktober,” jelas Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara kepada CNBC Indonesia. “Secara month to month (mtm) kita akan lihat di November sudah kembali ke pola normal. Kita perhatikan terus sampai akhir tahun.”

Inflasi hingga Agustus 2022 berada pada level 4,69% (year on year/yoy). Lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 4,94% dikarenakan deflasi yang terjadi pada beberapa kelompok barang. Pada akhir tahun inflasi diperkirakan akan mencapai level 6,6-6,8%.

Ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh di atas 5%, berkisar antara 5,1-5,4%. Maka artinya Indonesia tidak akan jatuh ke jurang resesi. “Sampai akhir tahun PDB kita akan berada di range itu,” tegas Suahasil.

Bantuan sosial (bansos) tambahan digelontorkan senilai Rp 24 triliun sebagai bantalan bagi masyarakat yang membutuhkan. Diketahui, ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp 600.000 untuk 20,65 juta keluarga.

Kemudian Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi 16 juta pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Adapun bantuan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu per pekerja. Pemerintah juga meminta pemerintah daerah memberikan subsidi yang bisa diambil dari dana transfer ke daerah. Tujuannya adalah UMKM, ojek, nelayan dan lainnya.

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menilai masyarakat tetap belum siap menghadapi kenaikan harga energi yang akan diikuti oleh barang dan jasa lainnya.

“Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi 10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” kata Bhima.

“Bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM. Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin,” terang Bhima.

Sumber: CNBCIndonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only