Politik Anggaran Subsidi

Kenaikan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 lalu memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat di banyak daerah. Di tengah tekanan harga domestik dan usaha rakyat yang baru pulih pascapandemi, menaikkan harga BBM bersubsidi jelas adalah pilihan kebijakan yang tak populer dan berisiko tinggi.

Kenaikan harga minyak dunia sejak awal 2022 menjadi alasan utama karena telah melonjakkan beban subsidi dan kompensasi energi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Dalam hitungan awal APBN 2022 di Perpres No 104/2021 yang ditetapkan pada 29 November 2021, subsidi dan kompensasi energi semula Rp 152,5 triliun dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) adalah US$ 63 per barrel. Kenaikan harga minyak dunia secara drastis kemudian memaksa pemerintah menyusun APBN-P 2022 di Perpres No 98/2022 yang ditetapkan pada 27 Juni 2022, di mana kini subsidi dan kompensasi energi melonjak menjadi Rp 502,4 triliun dengan asumsi harga ICP US$ 100 per barrel. Gejolak harga minyak dunia telah memberi tambahan beban fiskal untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 349,9 triliun.

Namun sebenarnya, di saat yang sama, Indonesia sebagai eksportir utama komoditas seperti sawit, batu bara, hingga nikel, situasi kenaikan harga komoditas global juga telah meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Pada Perpres No 104/2021 dengan asumsi ICP US$ 63 per barrel, penerimaan negara adalah Rp 1.846 triliun dan pada Perpres No 98/2022 dengan asumsi ICP US$ 100 per barrel angkanya melonjak menjadi US$ 2.266 triliun. Seiring kenaikan harga komoditas global, penerimaan negara bertambah sekitar Rp 420 triliun.

Dalam proyeksi APBN 2022 terkini, beban subsidi dan kompensasi energi diperkirakan akan meningkat dari Rp 502 triliun menjadi Rp 640–653 triliun meski harga minyak dunia cenderung turun, tetapi karena tingginya konsumsi BBM bersubsidi sehingga dibutuhkan tambahan kuota. Namun demikian, dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2023, penerimaan negara 2022 juga diproyeksikan meningkat mencapai Rp 2.436 triliun. Dengan kata lain, dalam outlook terkini, tambahan beban fiskal untuk subsidi dan kompensasi energi adalah Rp 488–501 triliun, namun di saat yang sama penerimaan negara akan bertambah hingga Rp 590 triliun.

Dengan demikian, subsidi energi dan penerimaan negara dari komoditas adalah dua sisi mata uang yang sama. Harga keekonomian BBM domestik naik seiring melonjaknya harga minyak dunia, sehingga membuat beban subsidi energi meningkat secara drastis. Namun, kenaikan harga komoditas yang mengiringinya membuat penerimaan negara juga meningkat.

Perubahan penerimaan negara dan belanja subsidi energi akibat gejolak harga komoditas global adalah dua pos yang saling meniadakan. Kenaikan ruang fiskal dari kenaikan harga komoditas antara Rp 420-590 triliun secara jelas masih memadai untuk menyerap lonjakan beban subsidi energi yang berkisar Rp 350-501 triliun. Maka, kenaikan harga BBM bersubsidi sejatinya lebih mencerminkan politik anggaran pemerintah dibandingkan karena kenaikan harga minyak dunia.

Sejumlah faktor yang berkontribusi pada pilihan politik anggaran ini adalah tertutupnya peluang menambah utang dan upaya menekan stok utang seiring berakhirnya relaksasi batas defisit 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Selain itu, insensitivitas belanja publik terikat (non-discretionary expenditure) terutama pembayaran bunga utang dan belanja birokrasi, termasuk rendahnya sense of crisis yang terlihat jelas dari keengganan menunda pembangunan mega-proyek yang tidak mendesak seperti IKN (Ibu Kota Negara), hingga rendahnya kapasitas fiskal.

Seiring windfall komoditas yang dinikmati Indonesia sejak 2021, terlihat pemerintah berupaya menekan penciptaan utang baru. Bila pada semester II-2020 utang pemerintah bertambah rata-rata Rp 135 triliun per bulan, maka pada semester II-2021 angka ini menurun menjadi hanya Rp 80 triliun per bulan. Seiring semakin tingginya harga komoditas global, penambahan utang pemerintah semakin menurun menjadi Rp 59 triliun per bulan pada semester II-2021 dan berpuncak pada semester II-2022, yaitu hanya Rp 39 triliun per bulan.

Semakin menurunnya pembuatan utang baru ini bersesuaian dengan amanat UU No 2/2020, di mana relaksasi defisit anggaran di atas 3% dari PDB berakhir pada 2023. Windfall komoditas mengizinkan transisi menuju defisit di bawah 3% dari PDB pada 2023 ini berjalan mulus.

Datangnya pandemi Covid-19 telah meruntuhkan disiplin fiskal dan moneter yang berperan krusial dalam pengendalian inflasi. Atas nama stimulus fiskal untuk melawan pandemi, politik anggaran menjadi semakin permisif terhadap utang, penarikan utang baru dilakukan sangat masif, hingga menabrak kredo suci pengelolaan makroekonomi: mencabut aturan disiplin anggaran pemerintah dan monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral. Pandemi telah meruntuhkan dua disiplin makroekonomi terpenting sekaligus: disiplin defisit anggaran 3% dari PDB dan independensi bank sentral.

Atas nama penanggulangan pandemi, defisit melonjak mencapai 6,14% dari PDB pada 2020, 4,57% dari PDB pada 2021, dan diproyeksikan 3,92% dari PDB pada 2022. Dengan berakhirnya commodity boom, tanpa kebijakan fundamental untuk memotong non-discretionary expenditure dan efisiensi pengeluaran, upaya menekan defisit di bawah 3% dari PDB pada 2023 akan sangat bergantung pada kinerja penerimaan perpajakan. Sayangnya, penerimaan perpajakan masih terus rendah meski telah dua kali melakukan tax amnesty dan menaikkan tarif PPN.

Tanpa pandemi, kinerja penerimaan perpajakan (tax ratio) kita sudah rendah, rata-rata 10,1% dari PDB pada 2016-2019 dengan tax ratio 2019 hanya 9,8% dari PDB. Pascapandemi Covid-19, kapasitas fiskal jatuh drastis, dengan tax ratio hanya 8,3% dari PDB pada 2020, untuk kemudian membaik seiring pemulihan dan commodity boom yaitu sebesar 9,1% dan 10,0% pada 2021 dan 2022. Namun konsolidasi fiskal menuju defisit 3% dari PDB pada 2023, sebagaimana amanat UU No 2/2020, harus berjalan dengan proyeksi tax ratio yang melemah seiring berakhirnya commodity boom, yaitu 9,6% dari PDB.

Dengan upaya mengejar defisit di bawah 3% dari PDB di tengah pelemahan tax ratio, maka pilihan kebijakan yang tersedia hanyalah memotong belanja, di mana di bawah kredo suci mainstream belanja terikat harus diterima tanpa syarat, terutama pembayaran bunga utang dan cicilan pokoknya. Maka yang tersisa hanyalah memotong belanja tidak terikat (discretionary expenditure), terutama subsidi dan bantuan sosial. Dalam perspektif ini keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi mendapatkan “pembenaran”.

Kenaikan harga BBM menjadi contoh terkini ortodoksi belanja publik yang semakin memuncak pascapandemi. Gejolak harga komoditas global pada 2022 ini membuka kebebalan pengelolaan APBN: belanja terikat, terutama beban utang dan belanja birokrasi, terus bertahta meski kebutuhan terhadap perlindungan sosial dari inflasi dan penyelamatan dunia usaha dari resesi meningkat drastis. Menaikkan harga BBM di tengah tekanan harga domestik dan usaha rakyat yang baru pulih pascapandemi, menjadi respons yang dipilih atas kenaikan harga minyak dunia, meski ruang fiskal masih memungkinkan alternatif lain dan politik anggaran non mainstream belum pernah diupayakan secara serius.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only