Sejumlah pihak berharap pemerintah kembali menggelontorkan sejumlah insentif agar tiap sendi perekonomian bisa lebih siap menghadapi ancaman resesi yang disebut-sebut terjadi pada tahun 2023.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, misalnya, berharap pemerintah memberikan stimulus untuk memperkuat daya beli masyarakat. Relaksasi PPN dari 11 persen menjadi 8 persen, menurut dia, sangat mungkin diberlakukan.
“Toh posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang surplus Rp 100 triliun lebih,” ujar Bhima ketika dihubungi pada Selasa, 11 Oktober 2022. Relaksasi tersebut untuk mendukung konsumsi rumah tangga.
Pemerintah juga diharapkan memberikan stimulus kepada UMKM. Pasalnya, resesi diperkirakan bakal kian menekan sektor lapangan kerja formal. Sementara, serapan tenaga kerja di sektor ini terbatas, terlihat tiap tahun ada 4 juta angkatan kerja baru yang baru masuk di pasar tenaga kerja.
“Yang empat juta itu bisa ditampung sementara di sektor UMKM. Kemudian stimulus properti, subsidi rumah, subsidi uang muka, jadi untuk menjawab kekhawatiran dari para pekerja,” ucap Bhima.
Apalagi sejauh ini masih banyak pekerja yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Data terakhir memperlihatkan sekitar 10 juta orang yang terinfeksi virus. “Ada yang belum full gajinya, jam kerjanya dipangkas, bahkan masih ada yang dirumahkan belum dipanggil lagi masuk kerja,” kata Bhima. “Itu kan real. Itu yang harus disiapkan pemerintah.”
Bhima melanjutkan, pemerintah juga semestinya meningkatkan sense of crisis dalam mengantisipasi resesi tahun depan, tak hanya dalam bentuk pidato, tapi juga kebijakan. “Seperti pandemi kemarin ada pemulihan ekonomi nasional (PEN), kan nah harusnya ada paket kebijakan khusus dalam mencegah terjadinya PHK masal dan resesi ekonomi,” tutur Bhima.
Sektor keuangan yang pertama terpuruk
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyoroti ancaman resesi global tahun depan akan berdampak terhadap sektor keuangan. “Yang pertama akan terpuruk adalah di sektor keuangan,” ujarnya.
Menurut dia, di sektor keuangan akan terjadi turbulensi karena ekonomi Amerika Serikat—yang saat ini fokus dengan pengendalian inflasi—akan melemah. Selain itu, pengendalian inflasi Amerika cenderung dilakukan dengan kebijakan menaikkan suku bunga.
Walaupun inflasi di negara Abang Sam itu sudah berhasil turun dari 9 persen menjadi 8,5 persen, dan diprediksi akan terus turun lagi, tapi ke depan The Fed diprediksi bakal kembali mengerek suku bunga lebih tinggi lagi. Karena inflasi sudah terjadi selama setelah pandemi, konsekuensinya tentu saja likuiditas akan semakin ketat di Amerika.
“Dan orang melihat suku bunga mereka semakin tinggi akhirnya berdampak ke pertumbuhan ekonomi mereka akan turun. Amerika akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di tahun depan, tapi saya lupa angkanya,” kata Tauhid. “Itu yang saya kira memang terjadi di sana.”
Sumber: fokus.tempo.co
Leave a Reply