Inflasi Sri Lanka Tembus Rekor Tertinggi di 73,7 Persen

Krisis ekonomi yang sedang berlangsung telah membuat Sri Lanka harus berjuang untuk membayar impor penting termasuk makanan, bahan bakar, pupuk dan obat-obatan. National Consumer Price Index (NCPI), melaporkan, saat ini krisis ekonomi di Sri Lanka naik ke level tertinggi.

Di mana pada September 2022, angka terbarunya mencapai 73,7 persen atau meningkat dibandingkan bulan Agustus sebelumnya yang hanya sebesar 70,2 persen. Selain itu, inflasi harga makanan tahunan di Sri Langka meningkat menjadi 85,8 persen dari 84,6 persen pada bulan Agustus.

Sedangkan pada harga barang-barang non-makanan juga naik sebesar 62,8 persen. NCPI menangkap inflasi harga eceran yang lebih luas dan dirilis dengan jeda 21 hari setiap bulan.

Sebelumnya, Colombo Consumer Price Index (CCPI) yang dirilis setiap akhir setiap bulan juga mencatat adanya kenaikan pada bulan Agustus yang 69,8 persen. Catatan ini menjadi indikator utama yang menunjukkan bagaimana inflasi dan kenaikan harga berkembang di kota terbesar di Sri Lanka.

Dikutip dari Reuters, para ahli menyebut dengan kemungkinan kenaikan angka inflasi yang lebih tinggi lagi dari perkiraan, akan membuat Pemerintah Sri Lanka kesulitan mendorong bank sentral untuk menaikkan suku bunga bulan depan.

Kemudian, kepala penelitian untuk perusahaan investasi First Capital yang berbasis di Kolombo, Dimantha Mathew menilai alasan terjadinya lonjakan inflasi dikarenakan dampak dari kenaikan tarif atas listrik dan air yang diterapkan pada Agustus dan kenaikan pajak untuk telekomunikasi yang telah meluas.

“Namun, bank sentral tidak mungkin menaikkan suku bunga karena ekonomi sedang mendingin dan kami memperkirakan laju inflasi akan melambat mulai Oktober,” tambahnya.

Di sisi lain, Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe memperkirakan bahwa inflasi di negara kepulauan itu memang akan memuncak dengan kenaikan harga yang meroket. Namun dia menyebut, kemungkinan inflasi mereda bulan Oktober ini. Presiden Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan, pihaknya berencana untuk meningkatkan pajak langsung untuk mengurangi defisit dalam anggaran untuk 2023 mendatang.

Dia juga merencanakan untuk menjadikan ekonomi pada pijakan yang lebih stabil dibandingkan sebelumnya. Karena krisis ekonomi yang terjadi diakibatkan Sri Langka yang mengalami kekurangan dolar akut, yang disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang kurang tepat dan ditambah dampak pandemi COVID-19. Itu semua, telah membuat Sri Lanka harus berjuang keras untuk membayar biaya impor penting seperti makanan, bahan bakar, pupuk, dan obat-obatan.

Sebagai informasi, pada bulan September, negara Sri Lanka juga telah mencapai kesepakatan awal dengan International Monterey Fund (IMF) untuk mendapat pinjaman sekitar USD 2,9 miliar, bergantung pada penerimaan jaminan pembiayaan dari kreditur resmi dan negosiasi dengan kreditur swasta.

Sumber: merdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only