Intip Ramuan Ajaib Mantan Bos BI Bawa Pulang Dolar ke RI


Jakarta, – Upaya membawa pulang devisa hasil ekspor (DHE) yang sering disimpan oleh pengusaha di bank luar negeri bukan merupakan usaha yang dimulai ‘kemarin sore’.

Pada 2012, usaha ini telah dimulai oleh Darmin Nasution yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). CNBC Indonesia mencoba menelusuri cerita dari mantan Dirjen Pajak tersebut yang dituangkan dalam bukunya ‘Bank Sentral Itu Harus Membumi’.

Tak banyak publik ingat akan buku ini. Bahkan, jika dicari di toko buku modern, mungkin akan sulit ditemukan. Namun, Darmin menuangkan banyak cerita ‘kebanksentralan’ di dalamnya yang mungkin masih relevan di masa ini, termasuk kisahnya membawa pulang dolar hasil ekspor ke Indonesia.

Sekitar tahun 2010 hingga 2011, Indonesia dibanjiri oleh limpahan likuiditas dari luar negeri. Likuiditas memang berlimpah karena dunia baru lepas dari krisis keuangan 2008.

Dari catatan Darmin di bukunya, modal asing yang masuk ke Surat Berharga Bank Indonesia (SBI) cukup dinamis mengikuti dinamika global. SBI diminati asing, bukan hanya bunganya yang tinggi, tetapi juga tempat nyaman berspekulasi nilai tukar.

Darmin putar otak. Pada 2010, dia memberlakukan kebijakan yang mewajibkan kepemilikan SBI selama satu bulan atau one month holding period.

Kemudian, pada 2011, holding period di perpanjang menjadi enam bulan. Kebijakan ini sukses menghentikan arus modal ke SBI dan menggesernya ke instrumen investasi pemerintah, Surat Utang Negara (SUN).

Terbukti di akhir 2012, penempatan modal asing di SUN mencapai US$ 26,67 miliar, salah satu yang tertinggi di Asia. Namun, masalah tidak berhenti di situ.

Eropa mengalami eskalasi krisis pada 2011 dan memicu keluar modal asing dari obligasi. Selama 2012, menurut Darmin, nilai tukar rupiah melemah paling tajam dalam skala kawasan.

“Dalam situasi yang cukup krisis, mengenali permasalahan di lapangan menjadi penting. Respons kebijakan yang tepat dan cepat harus segera diambil. Karena tekanan terhadap rupiah bersumber pada pelepasan obligasi oleh investor asing,” tulis Darmin dalam bukunya yang terbit pada 2013.

“Saya secara langsung memegang kendali dalam kebijakan stabilisasi tersebut…meskipun pilihan langkah yang diambil tetap melalui proses diskusi yang cukup dinamis. Bahkan bagi saya, proses diskusi yang terjadi cukup memacu adrenalin,” ungkapnya.

Dengan sigap, Darmin melihat tantangan ini harus dihadapi dengan pasokan devisa berkelanjutan. Dia pun melirik kebijakan kontrol devisa di Thailand dan Malaysia.

Kedua negara ini sudah mewajibkan repatriasi devisa ke bank domestik sejak tahun 60-an. Namun, Indonesia sudah menganut devisa bebas sejakk 1982. Hal ini membuat pasokan dan permintaan devisa dikendalikan pasar.

Namun, dia melihat kecenderungan peningkatan impor akibat kemandirian industri domestik yang kurang dalam memenuhi bahan baku dan barang modal. Tiap kali kegiatan ekonomi meningkat, impor ikut naik. Sebagai catatan, kondisi ini masih berlaku hingga masa kini.

“Untuk memenuhi kelebihan permintaan devisa, pasar bertopang pada arus masuk modal portofolio sebagai sumber pasokan. Oleh karenanya, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah kebijakan suku bunga cenderung menjadi mengarah atau bias ke atas,” kata Darmin.

Akhirnya, dengan pertimbangan mata untuk kepentingan nasional, dia menerbitkan peraturan Bank Indonesia No. 14/11/PBI/2012 tentang penerimaan DHE dan DULN. Saat diterapkan, Darmin menerima banyak kritikan yang mengatakan bahwa kebijakan itu terlalu keras.

“Saya katakan bahwa kebijakan Bank Indonesia tersebut tergolong lunak, apalagi bila dibandingkan dengan diberlakukan di Thailan dan Malaysia,” tutur Darmin.

Didatangi Bule

Pada praktiknya, penerapan wajib parkir devisa di dalam negeri penuh tantangan. Darmin mengisahkan dirinya pernah didatangi kontraktor asing di kantornya.

Enam orang kontraktor minyak asing ini mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap aturan memulangkan devisa ke bank domestik. Mereka berdalih hall tersebut sulit dilakukan. Mereka terbentur dengan klausul dalam Production Sharing Contract (PSC) yang mengatakan bahwa uang hasil jualan minyak harus di bawa pulang ke negaranya.

“Saya sudah mempelajarinya dan tidak menemukan secara eksplisit tertulis hal tersebut,” ujar Darmin.

“Bank Indonesia tidak akan mundur dalam ketentuan ini,” tegasnya.

Darmin mengacu kepada datanya, bahwa eksportir korporasi memang hobby menempatkan DHE di bank luar negeri. Menurutnya ada dua masalah penempatan DHE di luar negeri tersebut.

Pertama, likuiditas valuta asing di dalam negeri menjadi tipis dan kadang kering. Kedua, BI ataupun pemerintah tidak bisa memonitor jumlah valuta asing hasil ekspor.

“Negara kerap dirugikan apabila ada perusahaan yang menggunakan dokumen ekspor fiktif agar memperoleh restitusi ekspor,” ujarnya.

Darmin pun menulis adanya indikasi bahwa perusahaan besar memanfaatkan jasa ekspedisi jaringan internasional untuk menyembunyikan identitas. Nama pengirim hanya tercantum perusahaan jasa pengiriman.

Dengan aturan wajib parkir, eksportir mau tidak mau menaruh dolarnya di bank dalam negeri. Kepada kontraktor asing, Darmin bersikukuh bahwa kebijakan tersebut wajar dilakukan.

“Kalian bekerja di Indonesia, mengolah tanah Indonesia, menggunakan air Indonesia dan menghirup udara Indonesia. Lalu kenapa uang hasil penjualan kalian bawa dan tempatkan langsung di luar negeri? Setidaknya, tempatkan terlebih dahulu di dalam negeri,” ungkap Darmin kepada kontraktor bule tersebut.

Saat ini, ketika dolar hampir mengering di negeri ini, apakah eksportir bisa ‘legowo’ membawa pulang dolar ke NKRI?

cnbc

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only