Memahami Pengertian, Jenis, dan Cara Menghitung PPh Terutang

Pajak Penghasilan atau PPh terutang merupakan nominal dari kewajiban pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak kepada negara. Wajib pajak yang dimaksud, dapat berupa badan usaha maupun orang pribadi.

Ketentuan mengenai PPh terutang ini mungkin masih terdengar asing bagi beberapa orang. Padahal, banyak orang yang terlibat langsung dalam ketentuan ini tetapi tidak menyadarinya.

Oleh karena itu, untuk mengetahui seluk beluk terkait hal tersebut, berikut pengertian, dasar hukum, jenis-jenis, serta cara menghitung PPh terutang selengkapnya.

Pengertian dan Dasar Hukum PPh Terutang

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, PPh terutang merupakan besaran nilai pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak kepada negara. Besarannya ditentukan berdasarkan penghasilan kena pajak (PJK), dan harus dilaksanakan dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian pajak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seperti kebijakan pemerintah lainnya, pelaksanaan PPh terutang harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum PPh terutang yakni Undang-undang (UU) Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan juncto UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Selain UU tentang perpajakan, pemungutan PPh terutang juga memiliki aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Terkait aturan teknis ini, ada banyak PP dan PMK yang telah dikeluarkan pemerintah, beberapa di antaranya antara lain:

  • PP Nomor 68 tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
  • PP Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu.
  • PP Nomor 91 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.
  • PMK Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
  • PMK Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
  • PMK Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota Tni, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
  • PMK Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
  • PMK Nomor 40/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai Dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu.

Selain PP dan PMK, aturan teknis terkait PPh juga tertera dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Perdirjen Pajak, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

Jenis-jenis PPh Terutang

Terdapat beberapa jenis PPh terutang yang berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut:

1. PPh Terutang Pasal 21

PPh terutang Pasal 21 adalah pada saat dilakukan pembayaran, atau pada saat terutangnya pajak penghasilan yang bersangkutan dan PPh 21 bagi pemotong untuk setiap masa pajak.

2. PPh Terutang Pasal 22

PPh terutang Pasal 22 adalah terutangnya pajak penghasilan oleh wajib pajak badan usaha tertentu, baik pemerintah maupun swasta atas perdagangan ekspor, impor dan reimpor.

3. PPh Terutang Pasal 23

PPh terutang Pasal 23 adalah terutangnya pajak penghasilan atas dividen pada saat pembayaran, dan saat disediakan untuk dibayarkan, saat bunga dan sewa jatuh tempo, saat royalti dan imbalan jasa teknil atau jasa manajemen maupun jasa lainnya ditentukan dalam kontrak/perjanjian/faktur.

4. PPh Terutang Pasal 25/29

PPh Pasal 25 merupakan pajak yang dikenakan untuk wajib pajak atas penghasilan yang didapatkan dan dibayarkan secara angsuran. Sedangkan, pajak penghasilan atau PPh Pasal 29 adalah pajak penghasilan yang kurang bayar dan tercantum dalam SPT Tahunan PPh.

PPh Pasal 29 bisa terjadi pada saat PPh terutang untuk satu tahun pajak ternyata memiliki jumlah yang lebih besar daripada kredit pajak.

5. PPh Terutang Pasal 26

PPh terutang Pasal 26 adalah terutangnya PPh pada bulan dilakukannya pembayaran, atau akhir bulan terutangnya penghasilan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu untuk pemotongan pajak penghasilan wajib pajak luar negeri, yakni warga negara asing (WNA).

6. PPh Terutang Pasal 15

PPh terutang Pasal 15 adalah PPh terutang dari pengangkutan orang/barang, termasuk penyewaan kapal yang dilakukan dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan laiannya di dalam negeri maupun luar negeri, dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan Indonesia dan luar negeri ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

7. PPh Terutang Pasal 4 ayat 2

Terutangnya PPh Pasal 4 ayat 2 ini ketika dilakukannnya sewa atas tanah dan/atau bangunan, di mana wajib pajak yang menyewakan wajib memotong PPh terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.

Sedangkan untuk penghasilan dari usaha jada konstruksi, pengguna jasa wajib memotong PPh terutang pada saat pembayaran.

Cara Menghitung PPh Terutang

Terkait perhitungannya, antara wajib pajak orang pribadi dan badan usaha tentu memiliki perbedaan. Berikut ini perincian terkait perhitungan PPh terutang untuk wajib pajak orang pribadi dan untuk wajib pajak badan.

1. Cara Menghitung PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi

Perhitungan tarif PPh terutang wajib pajak orang pribadi, didasarkan atas jumlah penghasilan yang didapatkan. Penentuan tarifnya diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Adapun, tarif yang dikenakan, adalah sebagai berikut:

  • 5% bagi penghasilan 0-Rp 50.000.00 per tahun
  • 15% bagi penghasilan Rp 50.000.000 sampai Rp 250.000.000 per tahun
  • 25% bagi penghasilan Rp 250.000.000 sampai Rp 500.000.000 per tahun
  • 30% bagi penghasilan Rp 500.000.000 sampai Rp 5.000.000.000 per tahun
  • 35% bagi penghasilan lebih dari Rp 5.000.000.000 per tahun

Sebagai informasi, bagi wajib pajak yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), akan dikenakan tarif 20% lebih tinggi dibandingkan wajib pajak yang memiliki NPWP.

Selain tarif yang telah disebutkan, wajib pajak orang pribadi juga dikenakan PPh terutang lain di luar penghasilan dari pekerjaan. Penghasilan yang diterima seorang wajib pajak di luar pendapatan dari kegiatan pekerjaan, juga dikenakan PPh.

Ini karena definisi penghasilan sebagai objek pajak itu sendiri, yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari dalam maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Misalnya, tambahan uang yang diterima ketika seorang wajib pajak menerima pesangon kala terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meski demikian, pengenaan tarif pajak atas uang pensiun ini tidak seperti tarif PPh pada umumnya. Terhadap uang pesangon, tarif PPh terutang yang dibebankan adalah bersifat final. Hal ini telah diatur dalam PMK 16/PMK.03/2010.

Untuk uang pesangon, Pasal 3 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010 menyebutkan tarif PPh ditetapkan sebesar:

  • 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50 juta.
  • 5% atas penghasilan bruto di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta.
  • 15% atas penghasilan bruto di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta.
  • 25% atas penghasilan bruto di atas Rp 500 juta.

Sebagai informasi, aturan besaran tarif PPh terutang ini juga berlaku terhadap tambahan penghasilan berupa uang pensiun.

Selain itu, apabila wajib pajak berhenti kerja dan memutuskan untuk menarik uang jaminan hari tua (JHT) yang terdapat dalam Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, juga dikenakan PPh.

Terkait uang manfaat JHT, besaran tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan, tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) PMK 16/PMK.03/2010. Dalam pasal tersebut, tarif PPh Pasal 21 untuk JHT dibagi menjadi dua, sesuai penghasilan bruto (manfaat JHT) yang diterima.

Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50 juta, tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah sebesar 0%. Sementara, untuk penghasilan bruto di atas Rp 50 juta, tarif PPh Pasal 21 ditetapkan sebesar 5%.

Tak hanya itu, PPh terutang juga dikenakan apabila wajib pajak orang pribadi juga mendapatkan penghasilan dari aktivitas perdagangan saham, perdagangan aset kripto, serta menerima pembagian laba dari investasi atau dividen. Atas beberapa aktivitas ini, PPh terutang yang dikenakan bersifat final.

Untuk penghasilan yang diterima dari aktivitas perdagangan saham, dan aset kripto, tarif PPh terutang yang dikenakan adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi yang dilakukan. Sementara, penghasilan yang diperoleh dari dividen, tarif PPh terutang yang dikenakan adalah 10%.

2. Cara Menghitung PPh Terutang Wajib Pajak Badan

Terdapat cara menghitung PPh terutang oleh badan usaha. Berikut ini, adalah perincian cara penghitungan PPh terutang untuk wajib pajak badan selengkapnya.

  • PPh Terutang Badan Usaha dengan Pendapatan Bruto Hingga Rp 4,8 miliar.

Untuk badan usaha dengan pendapatan bruto hingga Rp 4,8 miliar, perhitungan PPh terutang menggunakan rumus (50% x 25% x PKP).

Misalnya, PT Mulia Sejahtera Nusantara pada tahun pajak 2020 memiliki peredaran bruto senilai Rp 4,8 miliar dan jumlah PKP adalah Rp 800 juta.

Maka, nominal PPh terutang perusahaan ini, adalah (50% x 25%) x Rp 800 juta = Rp 100 juta.

  • PPh Terutang Badan Usaha dengan Pendapatan Bruto Lebih dari Rp 4,8 Miliar Hingga kurang dari Rp 50 Miliar.

Jika terdapat perusahaan yang memiliki bruto lebih dari Rp 4,8 miliar hingga kurang dari Rp 50 miliar, maka rumus yang digunakan adalah [{50% x 25%) x PKP memperoleh fasilitas] + [25% x PKP tidak memperoleh fasilitas]

Contohnya, PT Sejati Harmoni Berjaya pada tahun pajak 2020 memiliki peredaran bruto senilai Rp 30 miliar, maka cara menghitung PPh terutang, adalah dengan menghitung bagian penghasilan yang mendapatkan fasilitas dahulu, yakni sebagai berikut:

(Rp 4.800.000.000 / Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000 = Rp480.000.000

Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto dan tidak mendapat fasilitas yakni Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

Setelah mengetahui jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak mendapat fasilitas, maka cara menghitung PPh terutangnya adalah (50% x 25%) x Rp480.000.000 = Rp60.000.000

Dari perhitungan tersebut, didapatkan 25% x Rp 2.520.000.000 = Rp 630.000.000. Sehingga, jumlah PPh terutang adalah Rp 690.000.000.

  • PPh Terutang Badan Usaha dengan Peredaran Bruto di Atas Rp 50 Miliar

Untuk badan usaha dengan pendapatan bruto di atas Rp 50 miliar, tarif PPh terutang yang dikenakan adalah 25%. Contohnya, PT Sarana Kita Semua pada 2019 mencatatkan pendapatan bruto sebesar Rp 60 miliar. Maka, PPh terutang adalah sebesar 25% x Rp60 miliar = Rp1.5 miliar.

  • PPh Terutang Badan Usaha Berbentuk Perseroan Terbuka

Jika wajib pajak badan berbentuk Perseroan Terbuka (PT), maka terhadapnya dikenakan penurunan tarif PPh sebesar 5% lebih rendah daripada wajib pajak dalam negeri. Namun, untuk mendapatkan penurunan tarif PPh tersebut, PT harus memenuhi beberapa persyaratan.

Persyaratan yang dimaksud, antara lain:

– Memiliki setidaknya 40% saham dalam Bursa Efek Indonesia untuk diperdagangkan (BEI).
– Memiliki kepemilikan saham oleh 300 pihak publik dalam bentuk milik badan maupun milik pribadi.
– Saham yang dimiliki oleh badan maupun pribadi hanya boleh dikurangi 5% dari jumlah seluruh saham yang diberikan, dan harus dipenuhi dalam jangka waktu 183 hari kalender dalam 1 tahun pajak.

Demikian penjelasan terkait definisi dan dasar hukum PPh terutang, serta jenis-jenis dan perhitungan tarifnya, baik bagi wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha.

Sumber: katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only