Ancaman Resesi Global 2023, Sederet Ekonom Minta Pemerintah Tidak Buru-buru soal IKN

Sederet ekonom menanggapi rencana pemerintah yang terus membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara meski ada ancaman resesi global 2023 di depan. Mereka sebagian besar meminta agar pemerintah tak buru-buru soal pembangunan ibu kota baru yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur itu.

Mereka juga menjelaskan alasan mengapa pembangunan IKN itu perlu ditunda hingga menyarankan agar lebih fokus untuk menghadapai ancaman resesi global. Berikut tanggapan beberapa ekonom soal pembangunan IKN di tengah ancaman resesi tahun depan: 

1. Lebih baik fokus pada instabilitas sosial

Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri meminta pemerintah tak buru-buru membangun ibu kota baru dan menyarankan agar lebih fokus pada instabilitas sosial. “Bukanlah aib memindahkan ibu kota. Tapi ada masalah mendasar yang kita hadapi adalah sense of urgency-nya. Urgensinya bukan pindah ibu kota,” ujar Faisal kepada Tempo pada Kamis, 20 Oktober 2022.

Menurut dia, Indonesia akan menghadapi tantang berat, meskipun ada kemungkinan tidak mengalami resesi. Karena, kata dia, berdasarkan pengalaman, menunjukan bahwa jika ekonomi dunia resesi, maka Indonesia tidak. Alasannya, Indonesia keterkaitan dengan ekonomi dunia relatif kecil.

Faisal mencontohkan global financial crisis 2008, saat dunia mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi -1 persen, Indonesia angkanya 4,6 persen, bahkan nomor tiga tertinggi di dunia. Namun, tantangan saat ini sangat berat. Salah satunya nilai rupiah terhadap dolar Amerika melemah—sudah Rp 15.500—efeknya membayar utang dalam mata uang asing ikut naik. 

“Jadi beban utang naik, bunga, belum ditambah cicilan. Cicilan itu bisa dibayar dengan utang lagi, gali lubang tutup lubang, tapi kalau bunga enggak bisa,” ucap Faisal.

Bahkan, dia memprediksi bayar bunganya bisa melonjak lebih dari 20 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. “Itu sudah berat.” Sehingga, Faisal menambahkan, akan membuat ‘ruang’ bagi masyarakat semakin sedikit. Karena membayar bunga utang itu wajib, jika tidak Indonesia bisa mendapatkan penalty atau hukuman.

Menurut ekonom lulusan Vanderbilt University, Amerika Serikat itu, naiknya suku bunga disebabkan oleh inflasi yang terus naik. Indonesia saat ini, kata dia, sudah hampir 6 persen (5,95 persen), dan akan terus menanjak, bahkan kemungkinan bisa mencapai 7 persen. Faisal menuturkan hal itu disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina yang masih terjadi.

“Sebentar lagi setahun, tahun depan bisa jadi makin mengerikan perangnya, yang menyebabkan ketidakpastian global itu masih sangat tinggi,” tutur Faisal.

Tantangan lainnya, Faisal menyebutkan, climate change yang semakin gila-gilaan. Dampaknya bisa mempengaruhi harga pangan, karena banjir dan kekeringan ekstrem. Produksi pangan turun, bahkan setiap negara mengurangi ekspornya dan menambah pasokan cadangan. 

“Syukur panen beras kita bagus terus nih. Tapi beras bagus, gandumnya gimana, itu makanan pokok kedua setelah beras,” kata Faisal. “Kalau naik semua, ujungnya kan menaikkan suku bunga, suku bunga naik, beban utang nambah lagi.”

Kondisi perusahaan-perusahaan saat ini masih kesulitan akibat dampak dari pandemi Covid-19. Dia menjelaskan hal itu bisa dilihat dari kondisi penerbangan yang masih jauh dari pulih. Bahkan Faisal menceritakan penerbangan ke Semarang yang sebelumnya belasan kali, kini hanya dua kali satu hari. “Makanya saya kalau keluar kota harus nginep.”

Faisal menjelaskan, dunia usaha belum pulih dan akibatnya penerimaan pajak masih rendah sementara pengeluaran naik terus. ”Pengeluar pajak kan ‘daging’, utang makin membesar, tadi beban utangnya naik,” kata dia.

Angka kemiskinan di Indonesia juga menjadi tantangan. Seingat Faisal, jumlah penduduk dengan pengeluaran per harinya di bawah Rp 35 ribu jumlahnya lebih dari 60 persen, yang merupakan kategori rentan miskin. Berbeda jauh dengan Malaysia yang masyarakat rentan miskinnya hanya 2 persen dan Thailand hanya 6 persen.

Dengan kondisi seperti sekarang ini dan tantangan resesi global, kata Faisal, angka penduduk rentan miskin di Indonesia juga bisa naik menjadi 70 persen. Selain itu, penduduk usia muda 15-24 tahun di Indonesia yang mencari kerjaan tapi tidak dapat angka 17 persen. “Tertinggi di ASEAN,” ucap dia.

Menurut Faisal, semua kondisi yang disebutkan itu merupakan  instabilitas sosial, ditambah lagi jurang kaya miskin semakin melebar. Sehingga dia menyarankan, jika mendapatkan rejeki lebih baik jangan dipakai untuk yang non esensial, tapi ditabung untuk menghadapi kemungkinan yang sudah semakin terang akan terjadi yaitu resesi. “Jadi sosial instability ini bahaya. Kalau enggak (bisa) kolaps,” tutur Faisal.

2. Jangan buru-buru menawarkan ke investor

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menyarankan pemerintah tak terburu-buru membangun IKN, termasuk menawarkannya kepada para investor. Dia menyebut dalam memutuskan investasi, investor perlu mengambil valuasi dari sisi permintaan. 

Walau pemerintah memastikan pada tahap pertama sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) akan berpindah ke IKN, Bhima melihat kepastian mengenai ketersediaan infrastruktur dasar belum terang.  

“Komitmen sih silakan saja berkomitmen, tapi kan kita lihat yang komitmen besar seperti Soft Bank saja kan mundur. Karena kejelasan penduduk yang akan pindah belum bisa dipastikan,” ucap Bhima pada Kamis, 20 Oktober 2022.

Bhima menyarankan ketimbang membangun IKN, pemerintah lebih dulu memperbaiki fundamental daya saing industri dalam negeri dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Apalagi, negara sedang dihadapkan dengan ancaman resesi. 

“Hal itu yang harusnya dibenahi sehingga fundamental kita kuat. IKN enggak menjawab hal yang fundamental itu,” tutur Bhima.

Faisal Basri juga menambahkan perusahaan hanya mau berinvestasi di IKN jika minimal ada 5 juta penduduk dalam 10 tahun di ibu kota baru. “Tidak ada perusahaan yang mau merugi. Semua kan tahu baru ekonomis itu kalau penduduk dalam 10 tahun di sana 5 juta, baru ekonomis dan investor asing masuk,” ujar dia kepada Tempo, Kamis, 20 Oktober 2022.

Menurut dia, dengan ketidakjelasan penduduk yang akan menempati IKN membuat investor merasa tidak mendapatkan jaminan. Karena, kata Faisal, jaminan yang paling penting dalam bisnis itu adalah jumlah penduduk. “Kopi Kenangan mana mau ke sana, Starbucks mana mau kalau enggak dipaksa. Memang Tempo mau pindah ke sana?” kata dia.

Tanda-tanda investor ogah menanamkan investasinya di IKN, menurut Faisal, sudah terlihat dari bagaimana CEO Sofbank Masayoshi Son yang mundur dari proyek ini. “Masayoshi bilang pemerintah Indonesia tidak bisa menjamin adanya 5 juta penduduk dalam 10 tahun, quit,” tuturnya.

3. Masalah pembiayaan pembangunan IKN

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai permasalahan IKN tidak terlalu banyak berkaitan dengan ancaman resesi global. Karena menurutnya Indonesia masih relatif bisa bertahan dibandingkan banyak negara lain lantaran memiliki pasar domestik yang besar.

Namun ia melihat masalah IKN terletak pada sisi pembiayaan yang terbatas. “Nah pembiayaan yang terbatas ini artinya dari sisi keberlanjutan pembangunannya menjadi tanda tanya,” kata dia. 

Ia meragukan pemerintah dapat merampungkan pembangunan IKN sesuai target pada 2024. Menurutnya, kondisi resesi global hanya akan memperburuk dari sisi potensi pendanaan proyek IKN. Namun sebetulnya tanpa ada resesi global pun, ia menilai peluang pendanaan proyek ibu kota anyar masih terbatas.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad juga mengkhawatirkan hal yang sama. Menurut dia biaya proyek IKN Nusantara akan semakin besar seiring situasi inflasi dan pelemahan rupiah. 

Menurutnya Tauhid, investor akan menunggu lebih lama untuk memantau perkembangan ekonomi global. Calon investor pun akan melihat terlebih dahulu bagaimana realisasi dari pembangunan infrastruktur dasar dan rencana pemerintah memindahkan penduduk ke ibu kota baru. 

“Sebagian besar bahan baku dan teknologi masih impor. Karena inflasi, harganya juga naik. Perlu dihitung berapa kenaikannya?” ucap Tauhid. Terlebih inflasi bahan bangunan dan tenaga kerja, menurutnya, lebih tinggi daripada inflasi umum. 

Ongkos pembangunan proyek IKN ini membutuhkan dana sebesar Rp 466 triliun. Sebanyak Rp 89,4 akan didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sedangkan sisanya, Rp 235,4 triliun direncanakan akan disuntikan oleh investor swasta melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha. 

Kemudian Rp 123,2 triliun lainnya dari dukungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tauhid menyarankan agar pemerintah mulai mengerem proyek pembangunan IKN ini. Apalagi jika melihat pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. 

“Keuntungan neraca perdagangan pada September 2022 sebesar US$ 4,99 miliar, menyusut sebanyak US$ 5,71 miliar dibandingkan surplus pada Agustus 2022,” kata dia.

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only