ESDM: Pengenaan Bea Ekspor Feronikel Masih Tunggu Kesiapan Industri – Pertambangan

Kementerian ESDM menyampaikan bahwa pengenaan pajak atau bea ekspor terhadap dua produk olahan bijih nikel yakni feronikel dan nickel pig iron (NPI) masih dalam tahap pembahasan sembari melihat kesiapan industri dan fluktuasi harga nikel.

“Mudah-mudahan aturannya segera bisa dirampungkan karena harga nikel lagi bagus. Kami juga masih menghitung kesiapan dari para industri dan kestabilan harga nikelnya,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (28/10).

Adapun wacana pengenaan bea keluar pada feronikel dan NPI telah mengudara sejak awal tahun saat harga nikel menyentuh harga tertinggi di level US$ 100.000 per ton. Mengutip London Metal Exchange, harga jual nikel pada perdagangan Kamis (27/10) berada di US$ 22.384 per ton.

Arifin menjelaskan, pemerintah masih terus melihat pergerakan harga nikel sebelum menetapkan regulasi pemberlakukan pajak ekspor NPI dan Feronikel. “Karena kami juga masih melihat kestabilan harga nikel, sepertinya sekarang agak stabil ya,” kata Arifin.

Sebagai informasi, feronikel merupakan hasil olahan bijih nikel kadar tinggi saprolite. Adapun pengolahan bijih nikel saprolite menjadi feronikel harus melalui pengolahan di smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Selain mengolah bijih nikel kadar tinggi, pemerintah juga mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit melalui smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan nickel hydroxide product (NHP).

Langkah pemerintah untuk memberlakukan bea keluar pada feronikel dan NPI merupakan cara untuk menurunkan animo pelaku usaha yang berminat untuk mengekspor produk nikel setengah jadi seperti feronikel.

Dengan adanya kebijakan tersebut, para pelaku usaha diharap bisa lebih mengutamakan hilirisasi lanjutan dari komoditas feronikel guna meningkatkan nilai jual. “Karena feronikel ini nilai tambahnya masih kecil,” ucap Arifin.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memastikan penerapan pajak ekspor atau bea keluar produk hilirisasi nikel setengah jadi feronikel dan NPI berlaku tahun ini.

Penerapan pajak ekspor ini merupakan arahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan nilai jual mineral dari hilirisasi produk tambang. Komoditas ini biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat atau stainless steel.

“Tahun ini harusnya sudah bisa diselesaikan, kami bersama kementerian dan lembaga terkait masih membahas itu,” kata Asisten Deputi Bidang Pertambangan Kemenko Marves, Tubagus Nugraha saat ditemui di Hotel Grand Kemang Jakarta pada Rabu (12/10).

Adanya pemberlakukan pajak ekspor bagi feronikel kerap memunculkan narasi kekhawatiran pasokan yang menumpuk akibat tak terserap di industri domestik.

Menurut Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, narasi tersebut gugur seutuhnya karena industri hilir nikel di Tanah Air sudah tercipta akibat monopoli perusahaan Cina.

Ferdy menjelaskan, sebanyak 70% industri hilir nikel dipegang oleh perusahaan Cina di bawah PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). IMIP sendiri merupakan hasil kerjasama antara Bintang Delapan Group dari Indonesia bersama Tsingshan Steel Group dan Delong Group dari Cina.

Beberapa perusahaan asal Cina juga telah sepakat menanamkan modalnya di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Nilai investasi yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan tersebut totalnya mencapai US$ 1,63 miliar atau sekitar Rp 21,7 triliun.

Lebih lanjut, kata Ferdy, dominasi Cina juga diperlihatkan dari adanya PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) pada proyek smelter di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

“Kalau Indonesia menerapkan pajak ekspor feronikel maka gak rugi, akan terserap semua. Karena perusahaan asing itu sudah membangun membangun smelter pengolahan dengan kapasitas besar,” kata Ferdy.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only