Cegah PHK, Pengusaha Minta Importir Tekstil Ilegal Ditindak dan Pasar Ekspor Baru Digenjot

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta mengeluhkan semakin merajalelanya produk tekstil ilegal. Hal ini makin memperparah kondisi industri tekstil dalam negeri yang tengah berjuang agar tak melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya.

Apalagi saat ini, menurut Redma, pasar ekspor yang disasar industri tekstil dalam negeri sedang lesu. Oleh karena itu, pemerintah bisa membantu industri domestik di antaranya dengan mengatur importir legal dan menindak importir ilegal. “Kalau kita bisa tindak itu, saya kira kita bisa gak perlu lakukan PHK,” ucapnya dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 2 November 2022.

Ia juga meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan importasi produk tekstil. Tujuannya untuk melindungi industri tekstil dalam negeri yang tengah kesulitan akibat turunnya permintaan ekspor.

Jika impor dibatasi, tuturnya, maka akan tersedia pasar domestik bagi industri dalam negeri. Sehingga, penurunan daya beli di negara-negara tujuan ekspor tak akan terlalu berpengaruh pada kondisi industri dalam negeri.

Adapun saat ini PHK terus terjadi akibat menurunnya pesanan yang datang pada perusahaan tekstil dalam negeri. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat penurunan ekspor tekstil Indonesia mencapai 30 persen.

Pemerintah pun berencana akan mengalihkan ekspor tekstil ke negara-negara yang selama ini belum banyak disasar oleh eksportir Indonesia, seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, dan Eropa Timur. Namun, Redma menilai kondisi ekonomi negara lain pun saat ini sedang sulit sehingga eksportir akan kesulitan jika memaksakan ekspor ke sana.

Ditambah negara-negara produsen tekstil lainnya seperti Cina, India, dan Bangladesh juga tengah menyasar pasar tersebut. Alhasil, persaingan ekspor semakin ketat. “Market yang sudah mengecil ini juga jadi rebutan banyak,” kata dia.

Jika kondisi ekspor sulit dikendalikan, tuturnya, maka solusi terbaik adalah mengatur pasar dalam negeri.

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyarankan tiga langkah yang bisa dilakukan pemerintah dan pelaku ekspor tekstil Indonesia agar industri itu bisa terselamatkan di tengah ancaman resesi global 2023.

Pertama, Indonesia harus lebih cepat mencari pasar ekspor baru yang potensial. Ia berharap pemerintah lebih cepat bersaing dengan negara-negara pengekspor tekstil lainnya.

Apalagi pertumbuhan ekonomi di Timur Tengah dan Afrika Utara kini mencapai 5,5 persen berdasarkan proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) 2022. Walaupun kedua kawasan itu pertumbuhannya diprediksi melambat tahun depan di kisaran 3 persen, perekonomiannya masih tumbuh positif.

Di sisi lain, karena profil dari industri tekstil di Indonesia masih banyak yang berupa outsourcing dari brand internasional, pengalihan pasar pun akan bergantung dari merek internasional tersebut.

Kedua, Bhima menyarankan pada eksportir maupun pemerintah untuk berkomunikasi dengan pihak merek internasional itu. Dengan begitu, Indonesia masih akan tetap dipilih sebagai basis produksi para pemegang merek tersebut.

Terakhir, Bhima menyarankan agar pelaku ekspor melakukan beberapa penyesuaian, khususnya berkaitan dengan bahan dan selera konsumen Afrika dan Timur Tengah. Sebab, kualitas dan selera masyarakat di sana sangat berbeda dengan konsumen di Eropa dan Amerika Serikat.

“Warna dan jenis kainnya itu ada perbedaan, ada karakter khusus. Nah ini mungkin perlu mendapatkan perhatian juga,” ujar Bhima.

Selain itu, perluasan pasar ekspor juga harus dibarengi dengan pemberian relaksasi dan upaya mencegah terjadinya PHK. Misalnya, menaikkan subsidi upah untuk sektor tekstil atau insentif pajak.

Sumber : msn.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only