Asap Tetap Ngebul

Pemerintah mengerek tarif cukai rokok sebesar 10%. Salah satu tujuannya, untuk menurunkan prevalansi perokok anak. Akan berhasil?

Aang, pekerja di agen air isi ulang dan elpigi di kawasan Jakarta Barat, mengeluhkan harga rokok yang naik di warung. Padahal, baru seminggu sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10% masing-masing pada 2023 dan 2024. Ini artinya, harga rokok sudah naik mendahului kenaikan tarif cukai mulai awal tahun depan.

Dari harga Rp 18.000 sebungkus, kini Aang harus membeli satu kotak rokok filter Rp 20.000. Dan tahun depan, ketika cukai baru berlaku, harga rokok kemungkinan bisa naik lagi. “Kalau untuk berhenti rokok, sih, susah, karena namanya sudah kecanduan. Paling mengurangi saja, jadi setengah bungkus sehari,” katanya.

Langkah Aang sejalan dengan survei Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI), yakni sekitar 42% perokok akan mengurangi konsumsi. Sedangkan 24% lainnya bakal mencari rokok yang lebih murah.

Tapi, langkah pemerintah mengerek cukai hasil tembakau tahun depan masih meninggalkan perdebatan tiada akhir. Ketua umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabany mengapresiasi kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok konvensional untuk dua tahun berturut-turut, bahkan hingga dua digit. “Ini menjawab kekhawatiran tidak ada kenaikan cukai di tahun Pemilu 2024,” ujar dia.

Secara lebih perinci, tarif cukai golonga sigaret kretek mesin (SKM) I dan II naik 11,5% – 11,75%. Cukai sigaret putih mesin (SPM) naik 11%-12%, dan sigaret kretek tangan (SKT) I, II, III naik 5%.

Bersamaan dengan kenaikan cukai rokok sigaret, pemerintah juga mengenakan cukai atas rokok elektrik sebesar 15% dan menaikkan cukai hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL) 6%. Untuk segmen ini, kenaikan yang sama akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Hasbullah jelas juga mengapresiasi kebijakan ini, karena setiap tahun, rokok  elektrik semakin menjadi tren di kalangan remaja.

Sri Mulyani mengatakan, keputusan mengerek  cukai rokok mempertimbangkan berbagai aspek. Sebut saja, menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% dari 9,1% yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pemerintah berharap, kenaikan harga rokok akibat cukai yang lebih tinggi bisa mengurangi keterjangkauan terhadap rokok. Dengan demikian, konsumsinya akan turun.

Apalagi, perokok juga datang dari rumahtangga miskin yang memangkas kebutuhan sehari-hari demi rokok. “Konumsi rokok merupakan kedua terbesar dalam rumahtangga miskin,” ungkap Sri Mulyani.

Alhasil, konsumsi rokok berhubungan dengan kemiskinan dan stunting. Sebab, rokok jadi konsumsi terbesar kedua setelah beras. Bahkan, lebih besar dari konsumsi protein, seperti telur dan ayam.

Bukan Cuma menargetkan penurunan konsumsi rokok, Sri Mulyani meyebutkan, pemerintah juga membertimbangkan peran industri dalam menentukan kenaikan cukai. “Kami juga memahami industri rokok memiliki aspek tenaga kerja dan dari sisi pertanian dan hasil tembakau yang harus di pertimbangkan secara proporsional.” Ujar dia.

Sumber: Tabloid Kontan, Senin 14 November 2022

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only