Ecommerce Haram Jual Barang Impor Murah, Ini Situasi Lapangan

Kementerian Perdagangan berencana melarang penjualan barang impor dengan nilai kurang dari US$ 100 atau setara Rp 1,5 juta per unit di marketplace.

Namun, para pengusaha ecommerce menolak aturan tersebut, yang tertuang di Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Penerapan pembatasan harga itu, dinilai malah mendorong aktivitas impor ilegal.

Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono menilai kebijakan baru tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan.

Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesori ponsel dan/atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kgiatan impor ilegal. Secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung.

Sonny menyebut kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importir.

Ia menjelaskan bahwa platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi di berbagai negara. Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama, yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu.

Kegiatan perdagangan cross-border lewat platform ecommerce juga dimanfaatkan dengan baik oleh UMKM di Indonesia. Bahkan, di beberapa platform angka ekspor lewat marketplace lebih besar daripada angka impor.

“Ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor crossborder UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor,” kata Sonny dalam keterangan resminya, seperti dikutip Kamis (3/8/2023).

Artinya, lanjut dia, transaksi ini sesungguhnya memperbaiki neraca berjalan RI yaitu selisih antara ekspor dan impor di suatu negara.

Oleh karena itu, penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi crossborder ke Indonesia.

APLE menyebut proses impor crossborder ke Indonesia dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat.

“Dari sisi proses, impor dilakukan seratus persen secara digital dan terotomatisasi, terlebih bea cukai sudah mengaplikasikan e-catalog agar pendapatan negara yang berasal dari bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) yang besar dapat dipastikan sesuai,” jelasnya.

Oleh karena itu, APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border.

Sebab, platform yang tidak melakukan transaksi crossborder justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM tersebut lantaran masih ada barang eks-impor di sana yang memang boleh diperjualbelikan tanpa harus memenuhi kewajiban pemberian keterangan asal barang.

“Tentu hal semacam ini malah merugikan negara, karena barang-barang eks-impor ini tidak dikenai pajak,” tutur dia.

Untuk itu APLE mengajukan empat solusi terhadap persoalan ini. Pertama, pemerintah diharapkan mewajibkan platform pelaku transaksi impor crossborder untuk memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan volume yang lebih tinggi. Pemberian insentif bagi platform yang sudah menjalankan hal tersebut juga penting.

“Insentif dapat diberikan melalui dukungan layanan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi lain yang terkait,” kata dia.

Kedua, pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10 persen dan PPh. Dengan demikian, harga barang impor pun tidak terlalu murah, dan barang dalam negeri bisa makin bersaing.

Ketiga, pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Tujuannya, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi bukti importasi. Sebut saja barang-barang elektronik lain dan aksesorinya, seperti casing serta charger ponsel, kosmetik, obat-obatan maupun suplemen dan vitamin.

“Kemungkinan besar, barang-barang yang berasal dari kegiatan impor tersebut akan sulit untuk diawasi, apakah barang yang dijual tersebut telah memenuhi formalitas kepabeanan, dengan membayar bea masuk/ pajak sesuai dengan jenis dan nilai barangnya. Sebagai dampaknya, negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak,” jelas dia.

Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke “kampus-kampus” UMKM yang diprakarsai oleh platform, untuk menjelaskan secara mendalam benefit dari transaksi ekspor cross-border bagi pelaku UMKM di tanah air.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only