Biaya penyusutan dan amortisasi merupakan salah satu pengurang penghasilan bruto yang diizinkan secara fiskal. Dalam hal ini, wajib pajak badan memiliki opsi untuk menghitung penyusutan berdasarkan standar akuntansi komersial, tetapi ketika melakukan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan, mereka harus menerapkan penyusutan fiskal.
Ketika terdapat selisih antara jumlah penyusutan fiskal dan penyusutan komersial, perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai konsep dan metode penyusutan yang diatur dalam perundang-undangan perpajakan sangat penting bagi wajib pajak badan.
Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72/2023, wajib pajak mendapatkan fleksibilitas untuk melakukan penyusutan atau amortisasi berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya sesuai dengan pembukuan mereka. Namun, aturan ini berlaku hanya untuk bangunan permanen dan harta tak berwujud dengan masa manfaat di atas 20 tahun. Penyusutan atau amortisasi berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dapat dilakukan dengan syarat dilaksanakan secara taat asas dan sesuai ketentuan.
Perlu ditekankan bahwa pada masa transisi, dimulai sejak tahun pajak 2022, wajib pajak dapat menggunakan masa manfaat sesuai dengan catatan pembukuan mereka. Tetapi, penting untuk diingat bahwa wajib pajak harus memberitahukan kepada Dirjen Pajak paling lambat pada tanggal 30 April 2024.
Selain itu, PMK 72/2023 juga mengatur tentang penyusutan atas biaya perbaikan harta berwujud. Secara umum, biaya perbaikan atas harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun harus dibebankan melalui penyusutan. Penambahan biaya perbaikan tersebut dihitung dalam nilai sisa buku fiskal harta berwujud. Jika perbaikan tidak meningkatkan masa manfaat harta berwujud, maka penghitungan penyusutan dilakukan berdasarkan sisa masa manfaat fiskal harta tersebut.
Jika perbaikan menyebabkan peningkatan masa manfaat, maka penghitungan penyusutan dilakukan berdasarkan sisa masa manfaat fiskal harta berwujud ditambah dengan tambahan masa manfaat. Masa manfaat kelompok harta berwujud harus dipertimbangkan sebagai batas waktu maksimal untuk melakukan penyusutan.
Dalam menghadapi ketentuan perpajakan terbaru seperti Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 dan PMK 72/2023 yang mengatur tentang penyusutan dan amortisasi fiskal, perusahaan harus jeli dalam memahami ketentuan tersebut. Perusahaan sebagai wajib pajak harus memahami ketentuan terkait kriteria bangunan perm anen dan harta tak berwujud yang dapat disusutkan atau diamortisasi sesuai masa manfaat, dan juga bagaimana pengadministrasiannya.
Sumber : news.ddtc.co.id
Leave a Reply