Belanja Perpajakan Terarah dan Terukur

Pemerintah memproyeksikan belanja perpajakan tahun 2024 mencapai Rp 374,5 triliun, meningkat dari posisi tahun 2023 yang sebesar Rp 352,8 triliun. Kebijakan belanja perpajakan dirancang secara terarah dan terukur agar dapat mengantisipasi ketidakpastian serta tantangan ekonomi global dan domestik.

Estimasi belanja perpajakan berdasarkan jenis pajak tahun 2024 terbagi dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 228,1 triliun, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 127,9 triliun, Bea Masuk dan Cukai Rp 18 triliun; Pajak Bumi Bangunan (PBB) sektor P3 sebesar Rp 0,03 triliun, dan Bea Materai Rp 0,5 triliun.

Nilai belanja perpajakan secara keseluruhan meningkat secara terukur seiring dengan pertumbuhan ekonomi, kegiatan produksi, dan konsumsi masyarakat. Nilai belanja perpajakan Indonesia tahun 2022 sebesar Rp 323,51 miliar atau sebesar 1,65% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut secara nominal meningkat sebesar 4,4% dibandingkan nilai belanja perpajakan tahun 2021 yang bernilai Rp 309.995,6 miliar atau 1,83% PDB yang disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian nasional.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, kebijakan belanja perpajakan harus dijalankan dengan secara tepat guna misalnya yang dilakukan melalui insentif pajak. Pemerintah perlu melihat apakah insentif yang diberikan sudah sesuai dengan tujuan. Salah satunya fasilitas PPN bagi kebutuhan pokok, apakah insentif tersebut sudah dinikmati oleh masyarakat tidak mampu.

“Hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan perpajakan adalah ketepatgunaan insentif pajak. Dalam hal ini insentif pajak harus dilihat juga apakah menciptakan distorsi persaingan usaha? Serta apakah mendorong praktik penghindaran perpajakan?,” jelas Fajry kepada Investor Daily pada Senin (21/8/2023).

Dia mengungkapkan, berdasarkan laporan belanja perpajakan tahun 2022 tercatat 53,7% belanja perpajakan untuk kesejahteraan masyarakat, 21,77% untuk pengembangan UMKM, 13,2% untuk mendukung dunia bisnis, dan 11,2% untuk meningkatkan iklim investasi. Hal ini bisa dijadikan indikator terhadap dampak belanja perpajakan yang dilakukan pemerintah.

“Jadi, belanja perpajakan kita memang lebih ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contohnya, fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok. Itu salah satu kontributor terbesar belanja perpajakan,” ungkap dia.

Efektivitas belanja perpajakan dapat dilihat dari desain insentif yang diberikan pemerintah. Fajry berpendapat sebagian insentif pajak perlu dikoreksi sebab sudah tidak tepat sasaran, tidak sesuai dengan benchmark di berbagai negara, dan menciptakan distorsi persaingan usaha serta mendorong aktivitas penghindaran pajak. “Menurut saya, perlu dikoreksi, misalnya ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) PPN sebesar Rp 4,8 miliar, menurut saya ini sudah terlalu tinggi. Berikutnya insentif dalam Pasal 31 E UU PPh, potongan tarif 50% bagi yang beromzet di bawah Rp 50 miliar, dan potongan PPh badan bagi perusahaan masuk bursa,” kata Fajry.

Kesempatan Jangka Pendek

Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan saat pemerintah menjalankan kebijakan belanja perpajakan tentu akan menyebabkan hilangnya kesempatan pendapatan dalam jangka pendek. Sebab, potensi penerimaan yang seharusnya bisa didapatkan namun tertunda atau ditunda dengan harapan opportunity cost yang lebih besar akan didapatkan pemerintah dalam jangka menengah hingga panjang.

“Sehingga dengan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek di tahun depan dengan kebijakan insentif ini, maka pemerintah tentu perlu mendorong kebijakan lain yang kemudian bisa mendorong penerimaan pajak dalam jangka pendek. Misalnya kebijakan tarif pajak baru untuk PPN yang berdasarkan rencana akan dimulai di tahun depan dengan tarif baru sebesar 12%,” kata Yusuf kepada Investor Daily, pada Senin (21/8/2023).

Pemerintah juga bisa mengandalkan proses ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak untuk memastikan target penerimaan pajak dalam jangka pendek itu bisa terpenuhi. Sedangkan dalam jangka panjang pemerintah perlu terus mengevaluasi pemberian belanja perpajakan. Pemerintah harus mengukur pemberian insentif perpajakan ini Apakah sudah sesuai dengan outcome yang ingin dicapai.

“Misalnya, pemerintah menargetkan outcome dari belanja perpajakan industri manufaktur di sektor tertentu itu bisa tumbuh, Tentu kita perlu melihat bagaimana kemudian belanja perpajakan yang telah disalurkan pemerintah di tahun-tahun sebelumnya, apakah kemudian ini sudah mendorong proses industrialisasi,” tutur Yusuf.

Menurut Yusuf, ada dua indikator yang bisa digunakan dalam pemberian insentif perpajakan, pertama yaitu sektor yang kemudian berpotensi memberikan efek pengganda (multiplier effect) ke perekonomian baik dalam jangka pendek menengah hingga panjang. Kedua, sektor yang masih membutuhkan insentif dalam upaya pemulihan.

“Kalau kita bicara sektor yang bisa memberikan multiplier effect, maka saya kira sudah sepantasnya industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan mengingat saat ini proporsi induksi manufaktur terhadap perekonomian Indonesia masih merupakan yang terbesar dan juga selaras dengan upaya reindustrilisasi yang ingin digencarkan pemerintah kembali,” terang Yusuf.

Sementara itu, ada beberapa subsektor industri manufaktur itu ada yang kinerjanya, setidaknya dilihat dari pertumbuhan, itu belum kembali seperti sebelum terjadinya pandemi. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah ketika memberikan insentif perpajakan. “Saya kira ini juga yang kemudian bisa menjadi indikator lain dalam pemberian insentif perpajakan yang akan dilakukan pemerintah di tahun 2024,” kata Yusuf.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah memberikan insentif fiskal yang terarah dan terukur. Insentif pajak diberikan sebagai salah satu langkah untuk memberikan insentif transformasi ekonomi . Hal ini dilakukan dengan mendukung transisi ekonomi hijau, termasuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), mendukung investasi dan hilirisasi (tax holidaytax allowance), mendukung UMKM, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi.

“Jadi pajak tidak hanya untuk collection tetapi juga memberikan insentif,” imbuh Sri Mulyani.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only