Waspadai Lesunya Setoran Pajak Sektor Komoditas

JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu kerja keras untuk menjaga penerimaan pajak pada tahun ini maupun 2024.

Pasalnya, tren penurunan harga komoditas semakin menekan kinerja penerimaan pajak Indonesia. Tak heran jika tulang punggung kas negara tersebut kembali tumbuh melambat.

Anjloknya harga komoditas rupanya juga berdampak kepada setoran pajak di sektor komoditas. Bahkan, dunia usaha mulai berbondong-berbondong mengajukan permohonan pengurangan angsuran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 alias pajak korporasi.

Tercatat, sampai dengan 21 Agustus 2023, jumlah wajib pajak yang mengajukan permohonan diskon angsuran PPh 25 pada tahun 2023 mencapai 2.541 wajib pajak.

Tentunya permohonan pengurangan angsuran PPh 25 ini tanpa alasan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), beberapa setoran pajak dari sektor komoditas menunjukkan pelemahan.

Misalnya saja setoran dari PPh migas yang mengalami koreksi 7,99% lantaran adanya moderasi harga bahan bakar minyak (BBM). Sementara secara sektoral, penerimaan pajak dari sektor pertambangan hanya tumbuh 44% atau mulai melambat sejalan dengan moderasi harga komoditas.

Begitu juga dengan setoran PPh Badan sampai akhir Juli 2023 yang tercatat hanya tumbuh 24,2%, atau lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 132,4%.

Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo tak menampik bahwa moderasi harga komoditas akan memengaruhi kinerja penerimaan pajak, khususnya PPh Badan. Pasalnya, para pelaku usaha di sektor komoditas tersebut akan melakukan penyesuaian pembayaran angsuran PPh Pasal 25.

“Ini memang tidak bisa dihindari, memang harga komoditas dari waktu ke waktu mengalami penurunan dan ini akan memberikan dampak khususnya pada PPh Badan,” ujar Suryo dalam Konferensi Pers APBN Kita, 26 Juni 2023 silam.

Perlu Ekstensifikasi ke Sektor Potensial Lainnya

Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan, memang para produsen komoditas menghadapi dua tekanan sekaligus, yaitu ancaman penurunan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama, yang kemudian ikut menyeret harga ke titik yang cukup menyakitkan bagi para produsen.

Dalam situasi seperti itu, menurut Ronny, sedikit sulit untuk mencoba mencari celah menaikkan pajak dari ekspor komoditas.

“Menaikkan pajak tentu akan semakin menyakiti para produsen. Sementara melonggarkan pajak justru akan menyempitkan pendapatan. Jalan terbaik untuk sementara tentu adalah dengan meluaskan pasar komoditas nasional,” terang Ronny kepada Kontan.co.id, Senin (28/8).

Ia bilang, pemerintah harus memilih langkah yang moderat alias tidak terlalu berambisi untuk meningkatkan pendapatan dari sektor yang sedang mengalami business cycle.

“Fokus utama harus pada penjagaan irama usaha sektor komoditas agar tetap bergerak, tanpa ada lay off dan tanpa ada pengurangan kontribusi kepada ekonomi, meskipun secara fiskal akan menyakitkan,” katanya.

Di sisi lain, pemerintah harus terus melakukan ekstensifikasi pajak ke sektor-sektor potensial yang sedang tumbuh dan intensifikasi objek-objek pajak yang belum optimal tergarap selama ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyampaikan, setoran pajak dari sektor komoditas khususnya pertambangan menempati posisi keempat atau 11,8% dari total kontribusi penerimaan pajak sebesar Rp 1.109,10 triliun pada akhir Juli 2023.

Setoran pajak di sektor tersebut secara umum terdiri dari PPh Pasal 21, PPh 25/29, serta pajak pertambahan nilai (PPN). Ada juga penerimaan PBB-P3, hanya saja kontribusinya relatif tidak signifikan.

Berdasarkan perhitungannya, Prianto memperkirakan penerimaan pajak dari sektor komoditas pertambangan hanya akan mencapai Rp 202,72 triliun pada tahun ini.

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only