Paradoks (Anjloknya) Penerimaan Cukai

Laporan “APBN Kita” per akhir Juni 2023 tampaknya membersitkan sedikit kontradiksi. Penerimaan negara dari cukai misalnya, ‘hanya’ terealisasi Rp 105,9 triliun, turun 12,2% dari Semester I – 2022 yang sebesar Rp 120,6 triliun. Padahal dua tahun berturut-turut penerimaan cukai tumbuh melesat 32% tahun lalu dan 21% pada 2021.

Anjloknya penerimaan cukai besar kemungkinan terkait dengan merosotnya produksi rokok atau hasil tembakau yang hanya sebesar 139,4 miliar batang. Sebagai rujukan, produksi rokok atau hasil tembakau pada dua tahun sebelumnya masing-masing menembus 147,9 miliar dan 151,2 miliar batang.

Penurunan penerimaan dari sektor cukai agaknya juga dipengaruhi oleh tingginya basis produksi pada Maret 2022, saat tarif baru PPN belum diberlakukan. Kenaikan tarif pajak PPN 11% per 1 April 2022 disiasati oleh produsen untuk menggenjot produksi lebih banyak lantaran harga bahan baku yang belum naik.

Cerita yang sama tampaknya juga berlaku pada sisi konsumen. Dampak akumulatif dari kenaikan tarif PPN pada 2022 dan tarif cukai rata-rata 10% pada tahun berjalan secara teoretis akan menekan konsumsi. Konsumen yang rasional akan mengantisipasi hal ini dalam keputusan konsumsinya.

Aji mumpung pun kesampaian. Sebelum harga melambung, konsumen berupaya memaksimumkan utilitas diri dengan berkonsumsi lebih banyak. Dalam kalkulasi konsumen, tatkala harga naik, utilitasnya akan signifikan merosot kendati mengonsumsi dalam jumlah yang sama sebagaimana periode sebelumnya.

Sampai di sini, muncul fenomena inkonsistensi cukai antara aspek penerimaan dan pengendalian konsumsi. Di satu sisi, anjloknya penerimaan cukai dianggap sebagai sebuah kegagalan. Institusi yang berwenang memungut cukai niscaya diberi rapor merah. Target penerimaan cukai yang ditetapkan dalam dokumen APBN 2023 masih jauh dari jangkauan.

Sebagai konsekuensinya, upaya ekstra masih harus dilakukan untuk memenuhi kekurangan setoran target sampai akhir tahun. Masih mending jika upaya ekstra tadi diarahkan pada produk rokok tanpa pita cukai alias rokok ilegal. Meski cara ini tidak serta merta berbuah pada pembayaran cukai.

Di sisi lain, cukai dipungut atas suatu objek yang konsumsinya dapat menimbulkan kerugian bagi pemakainya dan memberikan eksternalitas negatif bagi orang lain atau lingkungan. Pada poin ini, pungutan cukai juga difungsikan sebagai instrumen fiskal untuk pengendalian konsumsi.

Dalam ranah praktis, cukai juga dikutip untuk menjaga keadilan. Jika objek kenikmatan sudah dikenai pungutan (pajak penjualan barang mewah, pajak natura, atau sejenisnya), objek yang mendatangkan mudarat pun dipungut cukai. Berangkat dari sini, cukai sering juga dikenal dengan ‘pajak dosa’ (sin tax).

Alhasil, penyusutan penerimaan cukai semestinya patut disyukuri. Penerimaan cukai diperoleh dari rumus perkalian antara tarif cukai, harga produk, dan kuantitas. Dengan demikian, penyusutan penerimaan cukai di saat ada kenaikan tarif cukai justru menunjukkan penurunan konsumsi. Artinya, fungsi pengendalian sejatinya terlaksana.

Berkaca dari kondisi di atas, fenomena cukai bisa ditafsirkan positif atau negatif tergantung dari mana posisi melihatnya. Hasil pengamatan yang berbeda memberikan implikasi kebijakan cukai yang tidak sama dan kebijakan cukai yang berlainan membawa respons yang tidak sama pula.

Masalahnya, tidak semua pihak mau dan bisa mafhum dengan perbedaan semacam ini. Masing-masing tetap kukuh dengan sudut pandangnya sendiri tanpa melihat kemungkinan perbedaan analisis dari perspektif lain. Debat berkepanjangan sering terjadi bahkan tanpa menghasilkan solusi apapun.

Alhasil, logika instan pun berkembang yang mengarah pada problema klasik ‘ayam dan telur’. Kenaikan tarif cukai terbukti membuat penerimaan cukai turun. Agar penerimaan cukai tidak turun, tarif kembali dinaikkan, begitu seterusnya, tanpa memperhatikan level konsumsi dan kuantitas konsumennya.

Lebih paradoksal lagi jika cukai sebagai ‘pajak dosa’ dipahami melenceng dari tujuan awal. Dengan membayar cukai, ‘dosa’ subjek cukai dianggap ‘gugur’ sehingga keberlanjutan aktivitasnya seakan sah. Efek samping pada orang lain dan lingkungan pun dipandang sebagai keniscayaan yang lumrah.

Konfigurasi problematika di atas membawa kembali pada filosofi yang mendasari cukai. Pungutan cukai didudukkan semata-mata sebagai instrumen pengendalian konsumsi, alih-alih penerimaan. Oleh karenanya, keberhasilan kebijakan cukai semestinya diukur dari pengurangan level konsumsi dan jumlah konsumennya.

Pada akhirnya, maksud positif yang termaktub dalam cukai (untuk mengurangi eksternalitas negatif dari suatu produk barang/jasa) menjadi alasan terselubung bagi sumber penerimaan negara. Kenaikan penerimaan cukai sejatinya implisit menunjukkan ‘ketidakefektifan’ dari kebijakan cukai itu sendiri.

Sumber : detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only