Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar mengungkapkan keraguannya jika insentif bebas pajak untuk pegawai bisa membuat mereka pindah ke Ibu Kota Nusantara alias IKN.
“Saya ragu jika insentif ini akan mendorong orang berbondong-bondong untuk pindah kerja ke IKN,” kata Fajry kepada Tempo, Senin, 4 Desember 2023.
Sebagai informasi, pemerintah akan memberikan insentif bagi pegawai yang bekerja di IKN, yakni berupa pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah sampai 2035. Insentif ini tidak hanya berlaku untuk pegawai negeri, tapi juga pegawai swasta.
Fajry melanjutkan, memang dalam teori dan praktiknya ada insentif pajak yang diberikan untuk regional atau wilayah tertentu. Salah satu alasannya untuk mengkompensasi biaya seperti biaya transportasi.
“Begitupula dengan insentif PPh OP (pajak penghasilan orang pribadi), insentif ini akan efektif jika mampu mengkompensasi biaya hidup di IKN atau mengkompensasi hal yang intangible seperti jauh dari keluarga dan sebagainya,” ujar Fajry.
Menurut dia, ini tentu bergantung kepada besaran insentif yang didapatkan bagi wajib pajak OP. Jika kompensasinya besar, mungkin saja bisa mengkompensasi. Tapi jika kompensasinya kecil tentu akan percuma.
Insentif PPh OP tidak menarik jika besarannya kecil
“Di samping itu, perlu kita sadari jika tarif PPh OP kita progresif,” ucap Manajer Riset CITA ini.
Artinya bagi orang yang berpendapatan rendah, insentif PPh OP tidak menarik jika besarannya kecil. Terlebih bagi orang dengan pendapatan di bawah penghasilan tidak kena pajak atau PTKP.
Tapi bagi orang yang berpendapatan tinggi, lanjut Fajry, insentif bebas pajak penghasilan mungkin akan menarik mereka untuk pindah ke IKN. Sebab, besaran insentif PPh OP yang mereka dapatkan tergolong besar.
“Tapi apakah akan efektif mendorong orang berbondong-bondong untuk pindah ke kerja di IKN?” ungkap Fajry.
Dia menjelaskan, berdasarkan data wajib pajak orang pribadi yang melaporkan surat pemberitahuan tahunan alias SPT, sebanyak lebih dari 84 persennya adalah kelompok berpenghasilan rendah dengan tarif layer terendah.
“Artinya, bagi sebagian besar pekerja, insentif ini tak menarik,” ujar Fajry.
Di sisi lain, upah minimum provinsi atau UMP Kalimantan Timur pada 2024 sebesar Rp 3,36 juta atau di bawah PTKP. Menurut Fajry, pekerja yang mendapatkan UMP tersebut tidak akan mendapatkan manfaat dari insentif ini.
Sumber : bisnis.tempo.co
Leave a Reply