Sengketa Jasa Periklanan Sebagai Objek PPh Pasal 23

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai jasa periklanan di media massa yang dianggap sebagai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 23.

Dalam perkara ini, wajib pajak bergerak di bidang usaha periklanan. Selama menjalankan usahanya, wajib pajak membayar jasa periklanan kepada PT X selaku perusahaan stasiun televisi dan radio. Atas transaksi tersebut, wajib pajak tidak memotong PPh Pasal 23.

Otoritas menilai pembayaran jasa periklanan dari wajib pajak kepada PT X termasuk objek PPh Pasal 23. Sebab, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, jasa periklanan di media massa tidak dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 23.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan dalil otoritas pajak. Wajib pajak berpendapat jasa periklanan di media massa bukanlah objek PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, wajib pajak tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran jasa periklanan kepada PT X.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Hakim Pengadilan Pajak berpendapat biaya jasa periklanan yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada PT X termasuk objek PPh Pasal 23.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.27015/PP/M.XI/12/2010 tanggal 9 November 2010, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Februari 2011.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 sehubungan dengan pemasangan, penyiaran, atau penayangan iklan di media massa yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK merupakan wajib pajak yang memiliki usaha di bidang periklanan.

Selama menjalankan usahanya, Pemohon PK melakukan kerja sama dengan PT X selaku perusahaan stasiun televisi dan radio. Kerja sama yang dimaksud ialah Termohon PK melakukan pemasangan iklan di stasiun televisi dan radio yang dimiliki PT X. Atas pemasangan iklan di stasiun televisi dan radio tersebut, Pemohon PK membayar biaya jasa periklanan kepada PT X.

Atas transaksi tersebut, Pemohon PK tidak memotong PPh Pasal 23. Sebab, Pemohon PK menilai bahwa jasa pemasangan iklan di media massa tidak termasuk objek PPh Pasal 23. Pendapat tersebut sejalan dengan SE-10/PJ.03/1998 yang menyatakan jasa periklanan di media massa tidak termasuk sebagai penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23.

Di samping itu, tidak terdapat peraturan perundang-undangan pada bidang perpajakan yang mengatur bahwa Pemohon PK harus menanggung PPh Pasal 23 yang tidak dipotong. Pemohon PK menjelaskan meskipun tidak memotong PPh Pasal 23, PT X tetap melaporkan penghasilannya dan membayar PPh badan.

Oleh sebab itu, jika Pemohon PK diminta untuk membayar PPh Pasal 23 yang tidak dipotong tersebut maka akan terjadi double taxation atau pemajakan berganda. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi dari pembentukan UU PPh itu sendiri. Berdasarkan pada alasan-alasan tersebut, Pemohon PK tidak menyetujui koreksi DPP PPh Pasal 23 yang ditetapkan oleh Termohon PK.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan jasa periklanan termasuk objek PPh Pasal 23. Dalam Lampiran II PER-178/PJ/2006 disebutkan jasa lain merupakan objek PPh Pasal 23. Dalam konteks ini, Termohon PK menginterpretasikan jasa periklanan termasuk jasa lain yang dimaksud dalam ketentuan tersebut.

Selain itu, PER-178/PJ/2006 tidak menyebutkan jasa periklanan dikecualikan dari objek PPh Pasal 23. Artinya, jasa periklanan tetap dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 15% dan dikalikan perkiraan penghasilan neto. Adapun penentuan besaran perkiraan penghasilan neto adalah 30% dari jumlah bruto dan tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN).

Menurut Termohon PK, ketentuan dalam SE-10/PJ.03/1998 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, yaitu PER-178/PJ/2006. Dengan demikian, ketentuan SE-10/PJ.03/2013 yang menyatakan jasa periklanan di media massa tidak termasuk objek PPh Pasal 23 sudah tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu, Termohon PK tetap mempertahankan koreksinya.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, jasa pemasangan iklan di media massa merupakan objek PPh Pasal 23. Oleh sebab itu, koreksi yang ditetapkan oleh Termohon PK sudah benar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only