Mau Lapor SPT Tahunan? Sistem DJP Sudah Muat Tarif Pajak Terbaru

Ditjen Pajak (DJP) sudah menyesuaikan lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi pada sistem online pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (12/1/2023).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan menu tarif PPh orang pribadi sesuai dengan UU PPh s.t.d.t.d UU HPP sudah tersedia pada sistem e-filing. Dengan demikian, penghitungan PPh terutang untuk SPT Tahunan PPh 2022 sudah menggunakan tarif baru.

“Penghitungan PPh terutang di dalam aplikasi pelaporan SPT Tahunan 2023 DJP Online (e-filing) sudah disesuaikan dengan tarif pasal 17 UU PPh yang terakhir diubah dengan UU HPP,” katanya.

UU HPP telah mengubah lapisan penghasilan kena pajak dan tarif PPh wajib pajak orang pribadi. Mulai tahun pajak 2022, tarif PPh orang pribadi sebesar 5% berlaku atas lapisan penghasilan kena pajak senilai Rp0 hingga Rp60 juta, bukan lagi untuk Rp0 hingga Rp50 juta seperti aturan sebelumnya.

Selain itu, UU HPP juga menetapkan bracket PPh orang pribadi menjadi 5 layer. Tarif PPh orang pribadi tertinggi, yakni sebesar 35%, berlaku atas penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. “Dengan kata lain, sudah di-update menggunakan 5 lapisan tarif PPh OP yang saat ini berlaku,” imbuhnya.

Selain mengenai penyesuaian tarif PPh orang pribadi pada sistem pelaporan SPT, masih ada pula ulasan terkait dengan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Kemudian, masih ada juga bahasan tentang tarif efektif PPh Pasal 21 dan validasi NIK-NPWP.

Aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 Versi 2.5.0.0

DJP telah menyediakan aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.5.0.0. Aplikasi ini merupakan pembaruan aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.4.0.0. Pembaruan dilakukan untuk mengakomodasi penyesuaian tarif PPh orang pribadi dalam UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

Untuk pengguna yang telah menginstal aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.4.0.0 sebelumnya, cukup instal file patch update versi 2.5.0.0 yang tersedia.

Namun, untuk pengguna baru dan belum pernah menginstal aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 dapat menginstal dengan file single installer aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 Versi 2.4.0.0 lalu memperbarui versi 2.5.0.0.

Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Peserta PPS

DJP menegaskan hingga saat ini belum ada ketentuan khusus mengenai pelaporan pada SPT Tahunan atas harta dan utang yang sudah diungkap dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Contact center DJP, Kring Pajak, mengatakan sesuai dengan Pasal 21 PMK 196/2021, harta dan utang yang diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) diperlakukan sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru wajib pajak sesuai tanggal Surat Keterangan.

“Serta dilaporkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2022. Namun, saat ini pengisian harta PPS pada SPT Tahunan belum ada petunjuk khusus sehingga masih mengacu pada petunjuk pengisian SPT Tahunan berdasarkan PER-34/PJ/2010,” cuit Kring Pajak.

Pemutakhiran Data

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengajak wajib pajak untuk melakukan pemutakhiran data dan informasi melalui DJP Online. Pemutakhiran data dan informasi itu berkaitan dengan kebijakan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.

“Karena aksesibilitasnya sekarang sudah digital, para wajib pajak dapat melakukan updating secara digital. Jadi, kami mohon kepada para wajib pajak, ayo, bareng-bareng kita update data dan informasi,” ujar Suryo.

Suryo mengatakan pemutakhiran data dan informasi tidak hanya terkait dengan NIK, tetapi juga pekerjaan, usia, tempat tinggal, alamat email, nomor telepon, dan lainnya. Data-data tersebut diperlukan, terutama yang berkaitan dengan korespondensi.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemutakhiran secara mandiri atas data utama paling lambat 31 Maret 2023. Kemudian, pemutakhiran data selain data utama, dapat dilakukan sampai dengan 31 Desember 2023.

Penyusunan Aturan Teknis Pajak Natura

DJP mengakui penyusunan aturan teknis soal pengenaan pajak atas penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan bukanlah pekerjaan yang mudah.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan sebelum UU HPP tersebut natura dan/atau kenikmatan relatif lebih mudah diatur. Alasannya, penghasilan nontunai tersebut tidak diperlakukan sebagai biaya bagi pemberi kerja dan bukan penghasilan bagi karyawan.

“Kalau treatment sekarang berubah, yang 1 sisi jadi biaya dan di sisi yang lain jadi penghasilan. Makanya harus yakin dan hati-hati,” ujar Suryo.

Oleh karena itu, DJP masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikan peraturan menteri keuangan (PMK) terkait dengan natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak serta mekanisme pemotongan pajaknya.

Desain Ketentuan Teknis Pajak Natura

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat desain ketentuan teknis PPh atas natura dan/atau kenikmatan harus kembali mempertimbangkan objektifnya. Sesuai dengan narasai yang disampaikan pemerintah selama ini, setidaknya terdapat 2 tujuan utama penerapan pajak tersebut.

Pertama, menjamin keadilan, khususnya adanya beban pajak yang setara bagi pihak yang menerima penghasilan berbentuk tunai dan nontunai (keadilan horizontal).Kebijakan ini juga untuk mencegah ketimpangan tambahan kemampuan ekonomis bagi pegawai di level tertentu yang banyak menerima natura/kenikmatan (keadilan vertikal).

Kedua, berdasarkan pada naskah akademis UU HPP (dahulu RUU KUP), salah satu pertimbangan pajak natura dan/atau kenikmatan adalah kian maraknya penghasilan dalam bentuk nontunai yang diterima influencer ketika melakukan endorsement barang/jasa.

“Dari perspektif tersebut, tersirat bahwa pengenaan pajak natura/kenikmatan mencakup subjek pajak orang pribadi yang merupakan pegawai dan bukan pegawai. Namun, natura/kenikmatan yang diterima oleh pegawai dan bukan pegawai pada dasarnya memiliki filosofi dan skema relatif berbeda,” kata Bawono. (Kompas.tv)

Cakupan Natura

Dalam konteks pemberi kerja dan pegawai, natura dan/atau kenikmatan umumnya diberikan sebagai alat untuk mendorong produktivitas dan skema mempertahankan (retain) pegawai. Persoalannya, UU HPP dan PP 55/2022 hanya mengecualikan jenis natura dan/atau kenikmatan tertentu yang dikenakan PPh.

Dengan kata lain, cakupan diatur dengan skema negative list. Dari sisi ketentuan teknis, dibutuhkan pendalaman mulai dari nilai threshold, skema valuasi atas tiap natura, hingga penerapan prinsip simetris (taxable-deductible).

“Cakupan yang terlalu luas dapat memengaruhi skema benefit yang diterima pegawai dari pemberi kerja di masa mendatang sehingga dapat berdampak bagi hubungan pekerjaan,” ujar Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji.

Mencermati tantangan tersebut, banyak negara umumnya tidak mengenakan pajak atas natura dan/atau kenikmatan melalui skema negative list. Dari catatan DDTC Fiscal Research & Advisory, 34 dari 46 negara (74%) di dunia justru mencantumkan secara jelas, detail, dan eksplisit jenis natura dan/atau kenikmatan yang dikenakan pajak (positive list).

Di sisi lain, untuk skema PPh atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh bukan pegawai, skema negative list masih bisa diterapkan. Pasalnya, natura dan/atau kenikmatan itu umumnya sebagai bentuk penghasilan (tambahan kemampuan ekonomis) dalam rangka hubungan komersial belaka.

“Bentuknya pun bisa bermacam-macam mulai dari produk, hadiah perjalanan, hingga akses yang tidak terbatas atas fasilitas tertentu. Singkatnya, ruang lingkup PPh atas natura/kenikmatan bagi bukan pegawai bisa lebih luas daripada ruang lingkup untuk pegawai,” jelas Bawono. (Kompas.tv)

Penerimaan Pajak Natura

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat PPh atas natura dan/atau kenikmatan hadir dengan mengedepankan aspek keadilan, bukan aspek penerimaan. Ada upaya untuk menjamin beban pajak yang setara bagi pihak yang menerima penghasilan tunai dan nontunai.

Sebelum adanya UU HPP, natura dan/atau kenikmatan bukanlah objek PPh dari sisi pegawai (non-taxable). Atas biayanya tidak bisa menjadi pengurang penghasilan (non-deductible expense) dari sisi perusahaan.

Melalui UU HPP dan PP 55/2022, skemanya kini berubah menjadi objek PPh (taxable) dari sisi pegawai dan bisa dibiayakan (deductible expense) dari sisi perusahaan. Hal tersebut mencerminkan prinsip simetris dalam pajak yang idealnya diterapkan secara konsisten.

Dari sisi pemerintah, adanya prinsip simetris tersebut menyiratkan PPh natura bersifat net-off atau tidak ada penerimaan tambahan. Namun, ada disparitas tarif PPh antara wajib pajak badan (flat 22%) dengan wajib pajak orang pribadi (progresif dengan tarif tertinggi 35%).

Selama terdapat selisih tarif, khususnya jika natura atau kenikmatan diterima oleh kelompok penghasilan di atas Rp250 juta, akan ada tambahan penerimaan pajak. Nilai penerimaan pajak meningkat seiring dengan makin tingginya tarif PPh orang pribadi yang menerima natura dan/atau kenikmatan. (Antaranews)

RPP Pemotongan PPh Pasal 21

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berpendapat basis pengenaan pajak dan penghitungan PPh Pasal 21 saat ini cukup beragam dan relatif kompleks. Contoh, adanya ketentuan yang berlainan antar pegawai dan nonpegawai, maupun pekerja upah harian.

Indonesia juga menganut sistem year-end adjustment pay as you earn (PAYE). Artinya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan bulanan setiap masa pajak dengan memperhatikan besaran PPh yang disetahunkan. Selain itu, pada akhir tahun akan dilakukan penyesuaian agar pemotongan yang dilakukan sesuai dengan penghasilan kena pajak. Pada praktiknya, hal ini memberikan tantangan.

“Adanya RPP tentang pemotongan PPh Pasal 21 menurut saya relevan dengan perkembangan terkini, yaitu upaya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang belum sepenuhnya optimal serta sejalan dengan reformasi pajak Indonesia yang salah satunya mengedepankan aspek kepastian dan kemudahan,” kata Bawono. (CNBC Indonesia)

Devisa Hasil Ekspor

Pemerintah berencana merevisi PP 1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan SDA. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Presiden Joko Widodo ingin kinerja positif ekspor Indonesia dapat juga diikuti dengan peningkatan cadangan devisa.

Saat ini, lanjut Airlangga, hanya devisa dari ekspor komoditas perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan perikanan yang wajib ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia. Ke depan, sektor usaha yang memiliki kewajiban untuk menempatkan DHE di Indonesia akan diperluas.

“Kami akan memasukkan beberapa sektor, termasuk sektor manufaktur,” ujarnya.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only