Sri Mulyani Tegaskan Tukang Baso Gak Kena Pajak, Asalkan…

Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang mengeluhkan besaran pajak yang dipungut pemerintah. Bahkan, beredar isu bahwa pungutan pajak juga diberlakukan pada pedagang kecil.

Anggapan ini ternyata sampai juga ke telinga Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam unggahan di akun resminya @smindrawati ia bercerita tentang kejadian tersebut di depan peserta seminar ekonomi.

“Sebagian masyarakat menganggap apa-apa dipajakin, bahkan pedagang bakso keliling dipajakin, ini pemahaman yang keliru,” tulisnya dalam unggahan di akun resminya @smindrawati, dikutip Kamis (26/1/2023).

“Pantes-pantesnya ‘kalau baru jualan bakso loh bu tega-teganya ibu itu pajakin’ oh ndak berprikemanusian to? Beneran to? Yawis ora,” katanya menceritakan anggapan masyarakat yang disampaikan kepadanya.

Dalam seminar tersebut, ia memastikan bahwa pedagang kecil, salah satunya tukang bakso keliling tidak dikenai pajak. Justru sebaliknya, pedagang kecil seperti tukang bakso tersebut diberikan banyak bantuan, seperti gas LPG bersubsidi dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Menurutnya, pemberian bantuan ini merupakan wujud dari kembalinya pajak ke masyarakat. Sesuai dengan prinsip pajak itu sendiri yakni gotong royong dan berkeadilan, dimana yang kuat membantu yang lemah agar sama-sama sejahtera.

“Kalau bakso cuman satu numpak sepeda, ya ora ah (tidaklah), memang ora (memang tidak) malah dibantuin pakai program keluarga harapan (PKH) kasih sembako, gitu kan bener, bener nggak?,” jelasnya.

“Bikin baksonya pakai LPG 3 kg itu 1 kalengnya itu subsidinya hampir Rp 10 ribu, kan dibantu kan bener nggak? Kalau bakso cuma satu sepeda ya pastinya dibantu,” lanjutnya.

Menurutnya, anggapan bahwa UMKM dikenakan pajak sangat tinggi itu salah besar. Justru sekarang pajak yang dibebankan lebih kecil karena batas omzet Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang tidak kena pajak sampai dengan Rp 500 juta. Lebih lanjut, ia menjelaskan mengenai kategori pengusaha atau UMKM yang dikenai pajak adalah yang memiliki omzet di atas Rp 500 juta.

“Jadi tukang bakso yang punya 5 ruko tadi kalo omsetnya sampai Rp 500 juta itu, Rp 500 jutanya nggak kena pajak. Loh jadi kalau 5 rukonya nanti setiap rukonya Rp 120 juta jadi totalnya Rp 600 juta omzetnya Rp 600 juta, sing bayari pajak ini Rp 600 dikurangi Rp 500, Rp 100 juta yang dikasih pajak. Rp 100 juta dikali 0,5/100, cilik banget,” jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah telah membebaskan pajak bagi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta per tahun. Pembebasan ini berdasarkan Undang-Undang HPP No 7 Tahun 2021.

Aturan tax exemption ini dimuat dalam Pasal 7 ayat 2a yang berbunyi Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.

Beberapa waktu yang lalu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Neilmaldrin Noor menjelaskan bahwa aturan ini berarti Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dengan peredaran bruto tertentu, atas bagian penghasilan sampai dengan Rp 500 juta, tidak dikenai Pajak Penghasilan.

Terkait dengan prasyarat, Neil menuturkan DJP tidak memberikan persyaratan khusus bagi WP OP UMKM yang memilih menggunakan skema PP 23 untuk berhak atas batas peredaran bruto yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) tersebut di setiap tahun pajaknya.

Untuk memudahkan masyarakat menghitung pajak tersebut, Neil membagikan contoh perhitungan sebagai berikut:

1. Kondisi A: WP OP UMKM memilih untuk menggunakan skema PP23 dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya memiliki jumlah peredaran bruto dalam satu tahun pajak sebesar Rp 450 juta. Maka Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Penghasilan, karena jumlah peredaran bruto yang dimiliki tidak melebihi Rp 500 juta dalam satu tahun pajak.

2. Kondisi B: WP OP UMKM memilih untuk menggunakan skema PP23 dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya memiliki peredaran bruto dalam satu tahun pajak sebagai berikut:
– Jumlah peredaran bruto sampai dengan bulan ke-5 sebesar Rp 490 juta.
– Jumlah peredaran bruto sampai dengan bulan ke-6 sebesar Rp 540 juta.
– Jumlah peredaran bruto sampai dengan bulan ke-7 sebesar Rp 570 juta atau Rp 30 juta khusus di bulan ke-7

Maka pengenaan Pajak Penghasilan Final PP 23 sebagai berikut:

– Pada bulan ke-1 hingga ke-5, Wajib Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Penghasilan Final, karena jumlah peredaran bruto yang dimiliki belum melebihi Rp 500 juta.
– Pada bulan ke-6, Wajib Pajak dikenakan Pajak Penghasilan Final dengan penghitungan:
= 0.5% x ( Rp 540 juta – Rp 500 juta )
= 0.5% x Rp 40 juta
– Pada bulan ke-7, Wajib Pajak dikenakan Pajak Penghasilan Final dengan penghitungan 0.5% x Rp 30 juta

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only