Pengusaha berharap pemerintah tidak mengenakan pajak seragam ke industri nikel
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini masih melakukan perhitungan soal besaran pajak ekspor untuk ferronickel (F’eNi) dan nickel pigiron (NPD. Namun, pengusaha nikel tegas menolak.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, ekspor NPI dan FeNi harus dikenakan pajak karena kapasitas produksinya sudah terlalu banyak. Di sisi lain, nilai tambah FeNi dan NPI juga masih rendah.
“Tahun lalu, pembahasan pajak ekspor ini baru sekadar diinisiasi. Sekarang, harus dibahas dahulu angkanya, ditentukan. (Kapan pelaksanaan dan besaran pajak ekspornya) nanti ditunggu dulu saja,” kata Arifin, Jumat (5/5)
Menurut Menteri ESDM, pengenaan pajak ekspor kedua produk olahan nikel itu tidak akan kehilangan momentum, meski saat ini harga nikel mulai melandai. Sebab, ke depan, permintaan nikel sebagai mineral strategis dalam proses transisi energi akan menguatkan harga komoditas ini. “Pasti harga nikel terus menguat karena mineral strategis,” tegasnya
Saat ini, kapasitas, smelter FeNi vang sudah beroperasi di Indonesia total mencapai 2,53 juta metrik ton (MT) per tahun. Sedang smelter FeNi yang sedang dalam tahap konstruksi akan memproduksi total 9,42 juta MT per tahun. Lalu, smelter FeNi yang rencana dibangun total produksi 10.08 juta MT per tahun.
Untuk produk NPI, saat ini produksi di dalam negeri sebanyak 4,93 juta MT per tahun. Sementara smelter NPI yang sedang konstruksi akan menghasilkan 1,61 juta MT per tahun, dan yang rencana dibangun akan memproduksi 0,24 juta MT per tahun.
Hanya, menurut Kementerian ESDM, produksi NPI domestik mengalami oversupply karena investasi smelter berteknologi pirometalurgi atau Rotary Klin-Electric Furnace atau Blast Furnace relatif murah. Maka dari itu, pengembangan produksi NPI perlu pemerintah kendalikan. Salah satu caranya, dengan mengenakan pajak ekspor.
Tapi, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3D) llaykal Hubeis bilang, identifikasi awal perlu pemerintah lakukan sebagai dasar pengenaan kebijakan pajak ekspor. Soal nya, pelaku usaha smelter ni kel menghadapi situasi yang berbeda-beda. Salah satunya, cukup banyak smelter baru dan belum mencapai pengembalian tingkat investasi.
“Ada smelter yang sudah sukses, produksi berlipat-lipat, ya, itu boleh-boleh saja dikenakan. Tapi, ada smelter lain yang memang baru mencapai tingkat keuntungan tertentu,” kata Haykal kepada KONTAN, Minggu (7/5) Selain belum mencapai tingkat keekonomian, industri smelter selama ini harus membayar bea masuk yang beragam dari negara tujuan ekspor. Dengan demikian, pengenaan pajak ekspor oleh pemerintah harus mempertimbangkan hal tersebut.
Bukan cuma itu, jika kemudian rencana pengenaan pajak ekspor mengacu harga komoditas yang saat ini masih cukup tinggi, pemerintah perlu mempertimbangkan fluktuasi harganya ke depan.
Menurut Haykal, pemerintah sebaiknya tidak méngenakan besaran pajak yang sera gam untuk seluruh industri smelter. AP3I berharap, besaran pajak ekspor tidak melebihi 10%. “Saya pikir, mungkin bertahap, tidak bisa harus di atas 10% atau 15% atau 20%. Tetapi, saya pikir 10% muasih oke lah, (kalau) di atas itu sudah sensitif,” sebutnya.
Nikel Belum Jadi Bahan Baku Baterai
NIKEL rupanya belum menjadi bahan baku utama dalam pembuatan baterai listrik. Buktinya, baterai vang Hlyundai dan Wuling gunakan terbuat dari lithium.
Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna bilang, sejauh ini, Indonesia telah berhasil menarik dua produsen mobil listrik, yakni Hyındai dan Wuling.
Menarik untuk dicatat, Wuling Air ev, yang merepresentaisikan 75% dari penjualan mobil listrik di Indonesia tahun lalu, menggunakan baterai berbasis besi yang dikenal sebagai lithium iron phospate (LiP) dan tidak mengandung nikel. Harganya lebih terjangkau dari baterai listrik nikel.
Bahkan, di kuartal 1 2022, hampir separuh mobil baru yang Tesla produksi menggunakan baterai LFP, terutama yang mereka jual di China. “Artinya, 75% dari mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidaklah menggunakan baterai nikel, namun menggu nakan baterai berbasis besi dengan harga lebih terjangkau,” ungkap Putra.
Tren yang sama mungkin berkembang di segmen roda dua. “Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikel, ini yang masih jadi pertanyaan,” ujarnya.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply