Mulai Tahun Ini ‘Kos-kosan’ Bebas Pajak, Ini 4 Faktanya

Rumah ‘Kos-kosan’ bakal terbebas dari pengenaan pajak hotel oleh pemerintah daerah. Hal ini seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Pada ketentuan sebelumnya, yaitu pada UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), kos-kosan dengan jumlah kamar lebih dari 10 masuk ke dalam kategori hotel sehingga dikenakan pajak hotel.

1. Dibebaskan dari Pajak Hotel hingga 10%

Dalam UU 28/2009 tentang PDRD tersebut, pemilik rumah kos akan dikenai pajak hotel dengan besaran paling tinggi 10%. Adapun besaran persentase pajak hotel ini secara spesifik ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Sementara lewat aturan barunya UU HKPD, rumah kos sudah bukan lagi menjadi objek pajak barang dan jasa tertentu sehingga tidak akan dikenakan pajak daerah.

“Jasa perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya,” bunyi Pasal 1 angka 47 UU HKPD, dikutip Selasa (2/1/2023).

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat 1, jasa perhotelan meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti hotel, hostel, villa, pondok wisata, motel, losmen, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, tempat pribadi yang difungsikan sebagai hotel, hingga glamping.

2. Berlaku Mulai 5 Januari 2024

UU HKPD berlaku dua tahun sejak tersebut diundangkan atau tepatnya pada 5 Januari 2024. Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani mengatakan, UU HKPD ini telah disepakati DPR dan pemerintah sejak 2022.

“UU HKPD sudah efektif mulai berlaku, jadi pemerintah daerah harus responsif dalam menyikapinya, agar penerimaan daerah tetap termitigasi dan tidak mengalami penurunan,” kata Ajib.

UU HKPD ini sebagai pengganti UU PDRD. UU PDRD telah membuat pemda sejak 2009 mendapat insentif dengan administrasi dan pemungutan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Pedesaan dan Perkotaan (sektor P2) dan objek BPHTB.

“Artinya, konsep perpajakan atas pusat-daerah akan dinamis sesuai UU yang berlaku. Pemda bisa membuat penyesuaian langkah-langkah yang seharusnya dilakukan,” ujarnya.

3. Penerimaan Pajak Daerah Turun

Di sisi lain Ajib menilai, perubahan kos-kosan bukan lagi menjadi objek pajak daerah akan memberikan sentimen negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Hal ini lantaran pemda kehilangan penerimaan pajaknya hingga 10%.

“Akan memberikan sentimen negatif terhadap penerimaan pajak daerah dan membuat penurunan penerimaan. Terutama untuk beberapa daerah yang mempunyai objek andalan di sektor kos-kosan ini, misalnya daerah yang mempunyai universitas atau kawasan industri,” jelasnya.

“Karena sebelumnya, daerah mendapat pemasukan sebesar 10% dari nilai sewa. Kategori tarif ini sangat besar, karena jumlahnya dikenakan atas omset atau nilai sewa, bukan atas keuntungan,” sambungnya.

4. Pemda Perlu Optimalkan Penerimaan di Sektor Lain

Atas kondisi ini, menurut Ajib pemda perlu mengoptimalkan penerimaannya dari sektor-sektor lain demi menutup kehilangan penerimaan dari sewa kos-kosan ini. Misalnya, dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak restoran dan kafe untuk dapat tetap mengamankan penerimaan.

“Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan penerimaan sektor lainnya untuk menutup kehilangan penerimaan dari sewa kos-kosan ini. Misalnya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak restoran dan kafe,” pungkasnya.

sumber : detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only