Era Baru Pemotongan Pajak Penghasilan Karyawan

PERMULAAN 2024 menandai dimulainya mekanisme baru pemotongan pajak penghasilan (PPh) bagi karyawan.

Momentum ini sejurus dengan implementasi program reformasi perpajakan khususnya pilar proses bisnis dan peraturan perpajakan.

Ini bukanlah pajak baru, melainkan wujud simplifikasi prosedur yang justru memangkas biaya kepatuhan pajak.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan karyawan sebagai pegawai, pekerja, atau orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dsb) dengan mendapat gaji atau upah.

Adapun ketentuan perpajakan lazim menggunakan terminologi pegawai untuk menjabarkan substansi terkait PPh. Termasuk dalam konteks ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) serta anggota TNI dan POLRI.

Beleid tentang pemotongan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi karyawan diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pemotongan pajak (withholding tax) bermakna penyetoran pajak ke kas negara tidak dilakukan oleh pihak penerima penghasilan atau karyawan, melainkan oleh pemberi kerja.

Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan atau bendahara instansi pemerintah selaku pembayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, bertindak sebagai pemotong dan penyetor PPh Pasal 21.

Merujuk laporan tahunan Direktorat Jenderal Pajak, pada 2022 PPh Pasal 21 menyumbang kontribusi penerimaan pajak secara nasional sebesar Rp 172,6 triliun atau mencapai 107,02 persen dari target.

Raihan ini tumbuh sebesar 18,23 persen dari tahun sebelumnya dan diekspektasikan akan terus meningkat pascapenerapan kebijakan baru.

Tarif efektif PPh Pasal 21

Pemerintah resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi. PP ini secara efektif mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

Tak berselang lama, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi resmi diketok. Aturan ini menjabarkan petunjuk teknis berikut contoh perhitungannya.

Dalam ketentuan ini, Wajib Pajak Orang Pribadi diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu pegawai tetap, pegawai tidak tetap, dan bukan pegawai.

Secara sederhana, perbedaan tetap dan tidak tetap terletak pada frekuensi penerimaan penghasilan, apakah teratur atau tidak.

Sedangkan separasi antara pegawai dan bukan pegawai adalah pada ikatan perjanjian, apakah sehubungan dengan usaha pemberi kerja atau tidak.

Termasuk dalam bukan pegawai di antaranya ahli yang menyerahkan jasa atau melakukan pekerjaan bebas kepada pihak pengguna.

Pada ketentuan sebelumnya, perhitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap dihitung terlebih dahulu selama 12 bulan penuh.

Total perkiraan gaji dan tunjangan dikurangi dengan biaya jabatan dan iuran pensiun atau iuran jaminan hari tua yang dibayar sendiri.

Lantas, penghasilan neto dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak.

Langkah selanjutnya mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif progresif berdasarkan lapisan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Hasil akhirnya adalah PPh Pasal 21 setahun yang dibagi 12 untuk mendapatkan nominal PPh Pasal 21 per bulan.

Lapisan tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi juga telah mengalami perubahan. Lapisan terbawah untuk Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 60 juta setahun dikenakan tarif 5 persen.

Sedangkan lapisan teratas untuk Penghasilan Kena Pajak melebihi Rp 5 miliar setahun dikenakan tarif 35 persen.

Per 1 Januari 2024, penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari sampai November di tahun berjalan cukup dilakukan dengan mengalikan total penghasilan bruto karyawan sebulan dengan tarif efektif bulanan.

Baru pada Desember penghitungan PPh Pasal 21 dihitung sepenuhnya seperti mekanisme awal. Hasilnya dikurangi dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya.

Penghitungan ini tidak menimbulkan penambahan beban pajak yang tertera pada bukti potong.

Tarif Efektif Rata-rata (TER) bulanan terbagi dalam tiga kelompok tabel, yakni TER A untuk PTKP di bentang kelas Rp 50 jutaan, TER B Rp 60 jutaan, dan TER C Rp 70 jutaan.

PTKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tidak kawin dengan tanggungan nihil ditetapkan sebesar Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta sebulan.

Perubahan status menjadi kawin serta penambahan tanggungan maksimal sampai dengan tiga orang diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 4,5 juta.

Sebagai contoh pegawai tetap berstatus kawin dengan tanggungan seorang anak memiliki PTKP Rp 63 juta setahun.

Untuk mengetahui tarif efektif bulanannya, dapat ditilik pada tabel TER B dalam rentang Penghasilan Kena Pajak sesuai kondisi karyawan tersebut.

Bagaimana dengan tenaga harian lepas dengan penghasilan tidak menentu? Penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif harian.

Penghasilan sampai dengan Rp 450.000 sehari dikenakan tarif 0 persen dari penghasilan bruto harian. Adapun tarif 0,5 persen dikenakan untuk penghasilan di atas Rp 450.000 sampai Rp 2,5 juta.

Pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap dengan penghasilan di atas Rp 2,5 juta sehari tidak dihitung menggunakan tarif efektif.

PPh Pasal 21 berasal dari hasil perkalian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50 persen dari penghasilan bruto dengan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Rumus ini sama dengan penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan bagi bukan pegawai.

Adopsi negara lain

Alih-alih terkesan nir perbedaan signifikan dengan mekanisme semula, formula ini menawarkan kepraktisan.

Hal ini lantaran ke depan, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21 akan berbasis pada situs (web) yang terintegrasi dengan akun DJP Online Wajib Pajak pemberi kerja. Penghitungannya akan terotomatisasi secara digital.

Bagi masyarakat umum, otoritas pajak menyiapkan fitur kalkulator pajak yang akan memudahkan perhitungan prediksi PPh Pasal 21 terutang.

Perilisan ketentuan tarif efektif ini menjadi langkah revolusioner pajak. Sebab, otoritas pajak mulai mengadopsi kaidah global yang berlaku umum.

Bahkan, tabel TER yang baru pertama kali diluncurkan di Indonesia ini cenderung lebih sederhana dibandingkan sejumlah negara tetangga.

Dilansir dari situs resmi Australian Taxation Office (ATO), tarif efektif yang berlaku bagi pegawai penerima penghasilan teratur cukup beragam.

Terdapat tabel TER mingguan, dua mingguan serta bulanan. Tabel TER harian pun tersedia untuk buruh harian lepas.

Tabel TER bahkan dikelompokkan berbeda berdasarkan jenis atau sektor usaha seperti aktor (entertainer) hingga pekerja di bidang hortikultura.

Tabel TER mingguan dan bulanan juga telah lama diaplikasikan di negara-negara acuan lain seperti Malaysia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.

Penyederhanaan mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 merupakan agenda krusial jelang implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) yang baru.

Selain membangun proses bisnis yang lebih efisien dan akuntabel, juga validasi perhitungan pajak yang mangkus pada masa datang. Muaranya tentu peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak demi optimalisasi penerimaan pajak.

Sumber: money.kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only