Pengusaha Rugi Seperti Inul Bisa Ajukan Keringanan Pajak Hiburan, Ini Syaratnya

Pelaku usaha hiburan termasuk Inul Daratista protes keras terkait kebijakan pajak hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa yang ditetapkan antara 40-75%. Pasalnya penyanyi dangdut itu mengaku tempat hiburan karaokenya sepi.

“Kita lihat kondisi karaoke saya sekarang. Ini hari Sabtu, kondisinya sepi, tamunya juga tidak banyak dan pajak di sini saja sudah 25%. Pajak 25% saja kondisinya seperti ini, tamu sudah teriak-teriak,” kata Inul di Twitter atau X resminya, dikutip Selasa (16/1/2024).

Terkait hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pajak hiburan merupakan kewenangan daerah. Dalam kondisi tertentu, pemerintah daerah dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.

“Jika para pelaku usaha mau memperbaiki dulu usaha pasca COVID, ‘kami belum bisa dengan tarif bawah 40%’, dalam UU HKPD memberikan ruang di mana kepala daerah diberikan kewenangan untuk memberi insentif fiskal,” ujar Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana.

Insentif fiskal yang dimaksud berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya. Itu bisa diberikan atas permohonan wajib pajak berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar, kondisi tertentu seperti bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, serta untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah.

“Misalnya oke tahun ini nggak 40% (batas bawah) dulu ya, kita lihat laporan keuangannya ya, kan nggak tiba-tiba langsung dikurangi, harus ada justifikasi dari pelaku usaha. Jika kepala daerah merasa kondisi ekonomi sosial di daerahnya memang memerlukan perlakuan khusus, maka insentif fiskal ini pun bisa diberikan secara massal oleh kepala daerah,” beber Lydia.

Jika pemerintah daerah ingin memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha tertentu, harus memperhatikan faktor kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak oleh wajib pajak tersebut selama 2 tahun terakhir; kesinambungan usaha wajib pajak; kontribusi usaha dan penanaman modal wajib pajak terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau alasan lainnya yang ditentukan kepala daerah.

“Boleh tidak memungut pajak bahkan di UU HKPD ada ruang boleh tidak memungut pajak. Tapi daerah juga harus hati-hati karena dalam penyusunan laporan keuangannya di mana di situ juga melaporkan tentang pendapatan dan belanja, bagaimana progres pemungutan pendapatannya, tentu harus ada justifikasi. Pasti akan ditanya oleh auditor kenapa kok yang ini tidak dipungut, ‘tidak potensial’, hitungan tidak potensialnya seperti apa, dipersilakan saja, silakan digunakan jika tidak potensial,” beber Lydia.

Lydia berpandangan pelaku usaha jasa hiburan sudah bangkit dari pandemi COVID-19. Hal ini melihat dari realisasi pajak daerah dari jasa hiburan yang sudah naik.

Berdasarkan data Kemenkeu, di 2019 realisasinya Rp 2,4 triliun, kemudian ada COVID-19 di 2020 turun menjadi Rp 787 miliar dan makin turun di 2021 menjadi Rp 477 miliar. Mulai naik di 2022 menjadi Rp 1,5 triliun dan data sementara 2023 realisasinya Rp 2,2 triliun.

“Paling tinggi itu dari DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Surabaya, Kabupaten Badung,” bebernya.

Sumber: finance.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only