Akademisi Ekonomi Energi dari Universitas Pertamina Rinto Pudyantoro mengungkapkan sektor hulu migas RI sempat mengalami kejayaan di tahun 1971-an. Pada periode itu, pengusahaan hulu migas yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 mempunyai penerapan sistem kontrak yang cukup menarik bagi para investor.
Rinto menjelaskan setidaknya terdapat beberapa keistimewaan bagi para investor dalam UU Nomor 1971 tersebut. Salah satunya yakni pemberlakuan lex specialis pada aturan perpajakan, dimana terdapat prinsip Uniformity Principle serta Assumed & discharged.
Namun sejak UU Migas direvisi, prinsip Uniformity Principle serta Assumed & discharged dihilangkan. Sejak saat ini lah iklim investasi migas Indonesia kurang menarik bagi para investor.
“Lalu kemudian berjalannya waktu sampai 2010 lahirlah PP Nomor 79 waktu itu, BP Migas agak keberatan karena PP 79 itu sebenarnya menghilangkan dua itu. Artinya apa, PSC yang baru tidak lebih bagus dengan yang lama. Setelah PP 79 itu ya pasti tidak lebih menarik,” ujarnya dalam acara “Menanti Arah Pemimpin Baru di Sektor Migas”, Kamis (1/2/2024).
Berkaca dalam kasus Chevron misalnya, ketika dua prinsip tersebut dihilangkan dari kontrak kerja sama migas, perusahaan mempunyai kewajiban membayar pajak tidak langsung hingga 30%. Pajak tidak langsung tersebut berupa pajak daerah, retribusi daerah yang dihitung dari air yang diproduksi.
“Lalu ada juga PBB migas dihitung dari volume kalau volume gede pajak gede juga atau variabel lain yang pajak tidak langsung. Kalau yang langsung kan pajak penghasilan. Ini membuat 2010 menjadi titik dimana investasi itu ya mungkin masalah menarik atau tidak itu personal investor tapi secara fiskal gak menarik buat investasi,” katanya.
Sebelumnya, Pengamat & Praktisi Migas, Tumbur Parlindungan menilai revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menjadi sesuatu hal yang cukup penting untuk segera dilakukan. Pasalnya hal ini menjadi kendala dalam menarik investasi migas ke tanah air.
Menurut dia, belum adanya kepastian hukum terkait revisi UU Migas membuat para investor akan ragu-ragu dalam menanamkan investasinya di Indonesia.
“Tanpa ada kepastian hukum, no investor will come dan sampai saat ini Indonesia masih sangat membutuhkan investor-investor yang mau berinvestasi di hulu migas,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (22/9/2023).
Sebagaimana diketahui, proses pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (UU Migas) hingga kini masih belum menunjukkan progres yang signifikan. Salah satu poin pembahasan pentingnya adalah mengenai lembaga definitif sebagai pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Tumbur menilai menilai apabila peran SKK Migas digantikan dengan lembaga baru yang mewakili pemerintah dalam PSC kontrak, diharapkan lembaga baru ini dapat membantu para Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) dalam melaksanakan kegiatan hulu migas di Indonesia.
Ia juga berharap dalam revisi UU Migas ini pemerintah dapat mempertimbangkan lex specialis pada aturan perpajakan. “Apabila dibentuk sebagai badan independen, banyak masalah regulasi ataupun birokrasi yang dapat diselesaikan. Hal ini yg sangat dibutuhkan,” kata Tumbur.
Sumber : www.cnbcindonesia.com
Leave a Reply