NIK Jadi NPWP, Jurus Baru DJP Tutup Kebocoran Penerimaan Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempunyai jurus baru dalam menutup kebocoran yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak.

Salah satunya adalah implementasi secara penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mulai 1 Juli 2024 mendatang.

Sejalan dengan hal tersebut, maka DJP juga telah mengeluarkan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG 6/PJ.09/2024.

Sebelumnya, dalam pemotongan pajak, wajib pajak yang belum memiliki NPWP dapat dikenakan tarif lebih tinggi. Oleh karena itu, wajib pajak yang tidak memiliki NPWP akan menghadapi potongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang lebih besar, yakni 20% lebih tinggi dari tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.

Melalui pengumuman ini, DJP menegaskan, dengan diimplementasikannya NIK sebagai NPWP, sepanjang NIK penerima penghasilan telah valid dan terintegrasi dengan sistem DJP, maka pemotong/pemungut tidak mengenakan tarif yang lebih tinggi.

“Dalam hal identitas penerima penghasilan sebagaimana dimaksud (…) diisi dengan NIK yang telah diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta telah terintegrasi dengan Sistem Administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud (…), tarif lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh tidak dikenakan atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh terhadap orang pribadi penduduk dimaksud,” bunyi Poin 7 dalam pengumuman tersebut, dikutip Kamis (15/2).

Oleh karena itu, wajib pajak orang pribadi tidak lagi dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% ataupun PPh Pasal 22 dengan tarif lebih tinggi 100% meski tidak memiliki NPWP. Hal ini dikarenakan NIK tersebut telah terintegrasi dengan sistem DJP.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa tarif 20% lebih tinggi sebenarnya masih berlaku lantaran sudah diatur dalam Pasal 21 ayat (5a) UU PPh. Hanya saja, dalam praktinya, aturan tersebut akan dinonaktifkan sepanjang NIK sudah valid dengan NPWP.

Prianto mengatakan, tujuan dilakukannya kebijakan tersebut adalah agar transaksi underground economy oleh orang pribadi dapat langsung diawasi oleh DJP.

Pasalnya, pemotong PPh 21 harus membuat bukti potong PPh 21. Nah, bukti potong tersebut tidak dapat dibuat tanpa ada informasi NPWP. Oleh karena itu, NIK sebagai pengganti informasi NPWP sehingga DJP dapat langsung mengetahui apakah pemilik NIK tersebut sudah eligible atau memenuhi syarat memiliki NPWP atau belum.

“Jadi kebijakan ini memang bertujuan untuk menutup celah individual tax avoidance yang dilakun oleh orang pribadi tanpa menyertakan NPWP,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Kamis (15/2).

Sementara itu, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menjelaskan bahwa berdasarkan pengumuman tersebut, sanksi pajak yang lebih tinggi tidak akan dikenakan dalam hal NIK sudah tervalidasi dengan sistem DJP. 

Kendati begitu, dirinya menilai bahwa penerapan ketentuan tersebut akan berdampak kepada penurunan PPh, khususnya PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23.

“Tetapi saya yakin penurunannya tidak signifikan,” kata Raden.

Hal ini lantaran pada umumnya, pegawai tetap yang menjadi tumpuan penerimaan PPh Pasal 21 sudah menggunakan NPWP. Sementara, penerimaan PPh Pasal 21 yang menggunakan tarif 20% lebih tinggi bagi yang tidak memiliki NPWP lebih banyak untuk bukan pegawai.

Raden menambahkan, penggunakan e-bupot memang mengharuskan adanya NPWP atau NIK. Sebelumnya, pemberi penghasilan masih bisa membuat bukti potong jika penerima penghasilan tidak memberikan NPWP dengan cara mengisi NPWP 00.000.000-0-000-000.

Dengan mengisi NPWP kosong tersebut, maka akan dikenai tarif 20% lebih tinggi untuk PPh Pasal 21, dan 100% lebih tinggi jika PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23. “Kewajiban memotong masih bisa dilakukan dengan cara gross-up biaya,” katanya. 

Dengan e-bupot, kata Raden, jika penerima penghasilan tidak memberikan NPWP atau NIK, maka pemberi penghasilan tidak dapat memotong PPh.

“Padahal, ketentuanya wajib memotong. Akibatnya pemberi penghasilan tidak bisa membuat PPh gross-up seperti sebelumnya,” imbuh Raden.

Menurutnya, e-bupot sebenarnya memaksa wajib pajak untuk lebih sadar pajak lantaran mengharuskan pemberi penghasilan meminta NIK untuk pembuatan bukti potong.

“Dan penerima penghasilan secara otomatis akan tercatat di sistem DJP memiliki penghasilan yang wajib dilaporkan,” imbuhnya.

Senada, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, implementasi NIK menjadi NPWP akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut bisa menutup celah penghidaran pajak.

“Justru dengan adanya penyatuan NIK-NPWP maka celah penghindaran pajak semakin tertutup. Dengan begitu, harusnya dampak ke penerimaan akan positif,” kata Fajry.

Sebagai penegasan, masyarakat yang telah memiliki NIK tidak kemudian serta-merta menjadi wajib pajak. Hal ini dikarenakan, untuk menjadi Wajib Pajak terdapat beberapa persyaratan sendiri, di antaranya adalah dewasa dan memiliki penghasilan yang menjadi objek pajak.

Sumber: nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only