OPINI : Mengurai Sengkarut Rendahnya Tax Ratio Indonesia

Dalam siaran pers (2 Januari 2024) realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tax ratio terhadap pajak domestik bruto (PDB) selama 2023 hanya sebesar 10,21%, lebih rendah dari capaian tahun lalu (10,39%).

Kendati realisasi penerimaan pajak 2023 naik, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia terhadap PDB terus mengalami penurunan. Dalam laporan berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 terbitan OECD mencatat, pada 2022 tax ratio Indonesia hanya sebesar 10,01% dari PDB, atau di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik, serta lebih rendah dari rata-rata tax ratio negara Asia Pasifik (19%).

World Bank menyatakan jika suatu negara ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, maka suatu negara wajib memiliki tax ratio minimal 15%. World Bank beranggapan selama satu dekade, negara dengan tax ratio lebih dari 15%, pendapatan per kapitanya lebih tinggi 7,5% dari target.

Bagaimana dengan Indonesia? World Development Index mencatat Tax-to-GDP ratio Indonesia dalam dua dekade berada di kisaran 8,3%—13,3% alias dibawah rekomendasi World Bank.

Selain dapat menjadi alat ukur kesehatan fiskal, mengukur tax ratio terhadap PDB juga untuk mengukur efektivitas kebijakan fiskal suatu negara. Lantas, mengapa tax ratio Indonesia tergolong rendah?

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sektor informal menyerap sekitar 80 juta orang (60%) pada 2022. Selain itu Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada 2023 sebanyak 83,34 juta (60,12%) bekerja di sektor informal, sementara hanya 55,29 juta orang bekerja di sektor formal (39,88%).

Bak simalakama, satu sisi sektor informal mampu menyerap begitu banyak tenaga kerja, serta mampu memberi sumbangsih besar pada perekonomian, tetapi sisi lainnya dampak yang paling nyata adalah hilangnya pendapatan pajak yang seharusnya diperoleh pemerintah. Mayoritas pelaku ekonomi informal tidak terdaftar serta tidak melaporkan pendapatannya pada pemerintah, sehingga berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak.

Ekonomi informal juga berdampak pada penyusutan basis pemajakan, serta berpotensi meningkatkan perilaku tax evasion. Dalam beberapa kasus, pelaku ekonomi formal cenderung melakukan penghindaran/penggelapan pajak dengan cara mengalihkan usahanya pada sektor ekonomi informal guna menghindari kewajiban pajak, atau untuk memanfaatkan celah peraturan. Upaya pengalihan dengan maksud penghindaran/penggelapan pajak ini disebut dengan underground economy. Aktivitas Underground economy dapat mengurangi jumlah pendapatan yang seharusnya dikenakan pajak, serta berimplikasi pada menyusutnya basis pemajakan.

Di Indonesia aktivitas underground economy mencapai 8%—10% dari PDB. Jika PDB Indonesia pada 2023 Rp20.892,4 triliun, maka Rp2.089 triliun tidak tercatat. Jika asumsinya 10% dari aktivitas underground economy dapat dikenakan pajak, maka potential loss dari penerimaan pajaknya mencapai Rp208 triliun/tahun.

Pertanian

BPS mencatat, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada 2023 adalah 13,57% terhadap PDB (Rp2.835 triliun). Namun, tingginya kontribusi pertanian terhadap PDB, tidaklah berbanding lurus dengan kontribusi pajaknya yang hanya 1,9% terhadap pajak. Mengapa?

Selain karena sifat pertanian yang subsisten, alias berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup petani dan mengesampingkan peran komersial, tingginya tingkat informalitas juga menjadi polemik tersendiri. Mayoritas petani yang bekerja secara mandiri, tanpa terdaftar secara resmi sebagai entitas bisnis, mengakibatkan pemerintah kesulitan melacak pendapatan/penghasilan mereka untuk dikenai pajak.

Kendati pertanian seringkali berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, pendapatan dari sektor pertanian tidaklah stabil sehingga menyebabkan tingginya volatilitas penerimaan pajak. Kebergantungan pertanian pada faktor eksternal seperti cuaca, harga pupuk, ataupun ketidakpastian harga komoditas, menjadikan pertanian sangat fluktuatif. Fluktuasi inilah yang menyebabkan pemerintah kesulitan untuk menetapkan tarif pajak yang konsisten.

Selain karena banyaknya pekerja di sektor ini yang masih berstatus PTKP, beberapa petani juga cenderung mengabaikan kewajiban pajak karena adanya persepsi jika pajak yang dibayarkan, tidaklah sebanding dengan apa yang didapatkan. Para petani cenderung kesulitan untuk mendapat akses layanan publik, ataupun mendapatkan bantuan berupa infrastruktur penunjang aktivitas pertanian dari pemerintah.

Langkah awalnya, DJP selaku otoritas perpajakan Indonesia berkewajiban melakukan proses ekstensifikasi kepatuhan, di mana DJP berkewajiban untuk mendata mereka yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, tetapi belum terdaftar sebagai WP.

Kendati ekstensifikasi berupa pendataan telah dilakukan, tantangan terbesarnya baru akan hadir setelah proses pendataan. Banyaknya pelaku usaha (bukan pekerja) di sektor informal yang penghasilannya sulit untuk dilacak/didata, sehingga penghasilan mereka sulit dipajaki, menjadi persoalan yang hadir berikutnya. Hal ini diperparah dengan minimnya aksi “jemput bola” dari petugas pajak di berbagai tingkatan, sehingga meskipun data WP bertambah, tetapi tidak berbanding lurus dengan penerimaannya.

Selain itu, perspektif masyarakat terhadap pajak masih kurang baik. Meskipun banyak dari pelaku usaha informal penghasilannya telah memenuhi persyaratan subjektif/objektif, namun kebanyakan dari mereka enggan untuk mengubah status mereka menjadi menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Faktor utama keengganan mereka ialah komplesitas regulasi, sistem pelaporan yang rumit, Serta keraguan mereka terhadap pajak, dikarenakan sulitnya mereka mengakses berbagai layanan seperti layanan keunagan, dan layanan perlindungan sosial pasca membayar pajak.

Guna menjawab keraguan itu, DJP dapat memaksimalkan proses intensifikasi kepatuhan yang harus dijalankan secara masif dan konsisiten. DJP wajib menemukan formulasi dalam hal membangun kepatuhan sukarela WP melalui sosialisasi dan peningkatan pelayanan, dengan harapan kepercayaan WP akan meningkat, yang akan berbanding lurus dengan kesukarelaan mereka dalam membayar pajak.

Selanjutnya pemerintah wajib secara berkala memberantas praktik underground economy yang jelas-jelas telah banyak merugikan negara. Minimnya pengawasan otoritas DJP ataupun KPP dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik underground economy mengakibatkan praktiknya kian menjamur. Intensifikasi kepatuhan seperti penegakan hukum mutlak diperlukan, mengingat hanya dengan penegakan hukum yang ketat, para pelaku underground economy akan merasakan efek jera dan takut untuk menghindari apalagi melakukan penggelapan pajak.

Memaksimalkan Peran Pertanian

Menilik pada informalitasnya sektor pertanian, rasanya sektor pertanian menjadi penghambat pertumbuhan tax ratio. Transformasi struktural menuju sektor tersier nampaknya menjadi solusi yang menggiurkan. Namun apakah transformasi struktural harus melulu menghabisi sektor pertanian? Tentu tidak.

Pemerintah dapat balajar pada Uni Eropa yang merancang skema perpajakannya, di mana petani dengan omset melebihi ambang batas tertentu, harus terdaftar di otoritas pajak. Selain itu, untuk penjualan hasil pertanian kepada industri pengolahan hasil pertanian, seperti pabrik manufaktur makanan/minuman harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun untuk hasil pertanian yang menjadi konsumsi masyarakat harus dibebaskan dari jenis pajak apapun.

Pemerintah juga harus mendorong tercapainya diversivikasi hasil pertanian, dengan fokus pada pengembangan infrastruktur dan tekhnologi pertanian. Tujuannya agar petani tak hanya berfokus pada menanam tanaman yang menjadi konsumsi masyarakat, melainkan petani juga dapat didorong untuk memproduksi komoditas pertanian bernilai tinggi, yang tentunya dapat dipajaki dari sisi ekspor.

Sumber: bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only