PPN 12% Bebani Belanja Masyarakat

Rencana penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% paling lambat 1 Januari 2025 memantik kontra, meski hal itu adalah amanat Undang-Undang tentang Harmoniasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan tarif PPN itu dinilai tak tepat di tengah daya beli masyarakat yang belum stabil.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menyatakan, pemberlakuan tarif PPN 12% akan memberatkan sebagian besar masyarakat, khususnya menengah bawah seiring kenaikan harga-harga bahan pokok. “Ini akan menurunkan daya beli mereka,” ujar dia kepada KONTAN, Minggu (10/3).

Jika diterapkan, kata dia, pemerintah bisa tetap mengacu pada UU No. 42/2009 tentang PPN, yakni kebutuhan pokok seperti beras, jagung, garam, kedelai, daging, telur, susu, sayuran dan buah-buahan tak terdampak PPN. Demikian halnya jasa kesehatan, asuransi, sosial, pendidikan, keuangan, angkutan umum, tenaga kerja dan beberapa kebutuhan vital lainnya. “Dengan demikian, kenaikan PPN tidak akan terlalu memberatkan,” kata Ariawan.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memprediksi potensi penerimaan dari kenaikan tarif PPN pada 1 Januari 2025 akan lebih besar dari 2022. Dari catatan Kementerian Keuangan, penerapan tarif PPN 11% sejak April 2022 hingga Maret 2023 telah menambah penerimaan pajak senilai Rp 80,08 triliun.

Hanya saja, hal itu belum cukup mengerek angka tax ratio Indonesia secara signifikan yang saat ini masih cenderung rendah. “Jadi, tidak akan mengerek tax ratio secara signifikan,” ujar Fajry.

Dia bilang, pemerintah perlu melakukan berbagai antisipasi saat tarif PPN 12% berlaku. Pertama, mengelola efeknya terhadap inflasi. Kedua, perlu mengelola dampaknya terhadap kelompok menengah bawah, lantaran PPN adalah pungutan yang regresif yang bisa berdampak sosial bagi masyarakat bawah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemkeu Dwi Astuti menegaskan, penyesuaian tarif PPN bukan ditetapkan saat ini, melainkan saat UU HPP disahkan DPR pada 29 Oktober 2021. “Dengan demikian, tidak ada istilah pemerintah mengerek tarif PPN sebagaimana disampaikan dan adalah pemahaman yang kurang tepat,” kata dia.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan menambahkan, kebijakan penyesuaian tarif PPN tetap diiringi pemberian fasilitas, khususnya barang kebutuhan pokok seperti beras, daging dan telur yang meskipun termasuk barang kena pajak (BKP) namun dibebaskan dari pengenaan PPN.

Sumber : Harian Kontan, Selasa 12 Maret 2024, Hal.2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only